Cerita Pembantu Main Sex Dengan Pembantu - Delapan belas berbagi cerita sex dan kali ini adalah cerita sex dengan pembantu sendiri yang aduhai pejantan bangat langsug saja sobat simak ceritanya - Rumah yang mewah, uang yang berlebihan dan fasilitas hidup yang lebih dari cukup ternyata bukan kunci kebahagiaan untuk seorang wanita. Apalagi untuk seorang wanita yang muda, cantik dan penuh vitalitas hidup seperti Sari. Sudah satu bulan ini ia ditinggal suaminya bertugas ke luar kota. Padahal mereka belum lagi enam bulan menikah. Pasti semakin mengesalkan juga, untuk Sari, kalau tugas dinas luar kota diperpanjang di luar rencana.
Cerita Pembantu Main Sex Dengan Pembantu - Seperti malam itu, ketika Baskoro, suami Sari, menelepon untuk menjelaskan bahwa ia tidak jadi pulang besok karena tugasnya diperpanjang 2 - 3 minggu lagi. Sari keras mem-protes, tapi menurut suaminya mau tidak mau ia harus menjalankan tugas. Waktu Sari merayunya, supaya bisa datang untuk ‘week-end’ saja, Baskoro menolak. Katanya terlalu repot jauh-jauh datang hanya untuk sekedar ‘indehoy.’ Dengan hati panas Sari bertanya: “Lho mas, apa kamu nggak punya kebutuhan sebagai laki-laki?” Mungkin karena suasana pembicaraan dari tadi sudah agak tegang seenaknya Baskoro menjawab, … “Yah namanya laki-laki, di mana aja kan bisa dapet.
” Dalam keadaan marah, tersinggung, bercampur gemas karena birahi, Sari membanting gagang telepon. Ia merasa sesuatu yang ‘nakal’ harus ia lakukan sebagai balas dendam kepada pasangan hidup yang sudah demikian melecehkannya. Kembali ia teringat kepada pembicaraannya dengan Minah beberapa hari yang lalu, kala ia tanyakan bagaimana pembantu wanitanya itu menyalurkan hasrat sex-nya. Waktu itu ia bercanda mengganggu janda muda yang sedang mencuci piring di dapur itu.
“Minah, kamu rayu aja si Iman. Kan lumayan dapet daun muda.” Minah tersenyum malu-malu. Katanya, “Ah ibu bisa aja … Tapi mana dia mau lagi.” Lalu sambil menengok ke kanan ke kiri, seolah-lah takut kalau ada yang mendengar Minah mengatakan sesuatu yang membuat darah sari agak berdesir. “Bu, si Iman itu orangnya lumayan lho. Apalagi kalau ngeliat dia telanjang nggak pakai baju.” Pura-pura kaget Sari bertanya dengan nada heran: “Kok kamu tau sih?” Tersipu-sipu Minah menjelaskan. “Waktu itu malam-malam Minah pernah ke kamarnya mau pinjem balsem. Diketuk-ketuk kok pintunya nggak dibuka. Pas Minah buka dia udah nyenyak tidur. Baru Minah tau kalau tidur itu dia nggak pakai apa-apa.
” Tersenyum Sari menanyakan lebih lanjut. “Jadi kamu liat punyaannya segala dong?” Kata Minah bersemangat, “Iya bu, aduh duh besarnya. Jadi kangen mantan suami. Biarpun punyanya nggak sebesar itu.” Setengah kurang percaya Sari bertanya, “Iman? Si Iman anak kecil itu?” “Iya bu!” Minah menegaskan. “Iya Iman si Pariman itu. Kan nggak ada yang lainnya tho bu.” Lalu dengan nada bercanda Sari bertanya mengganggu,”Terus si Iman kamu tomplok ya?” Sambil melengos pergi Minah menjawab, “Ya nggak dong bu, ” kata Minah sambil buru-buru pergi. PIKIRAN NAKAL Dalam keadaan hati yang panas dan tersinggung jalan pikiran Sari menjadi lain. Ia yang biasanya tidak terlalu memperdulikan Iman, sekarang sering memperhatikan pemuda itu dengan lebih cermat.
Beberapa kali sampai anak muda itu merasa agak rikuh. Dari apa yang dilihatnya, ditambah cerita Minah beberapa hari yang lalu, Sari mulai merasa tertarik. Membayangkan ‘barang kepunyaan’ Iman, yang kata Minah “aduh duh” itu membuat Sari merasa sesuatu yang aneh. Mungkin sebagai kompensasi atau karena gengsi sikapnya menjadi agak dingin dan kaku terhadap Iman. Iman sendiri sampai merasa kurang enak dan bertanya-tanya apa gerangan salahnya. Pada suatu hari, setelah sekian minggu tidak menerima ‘nafkah batin’nya, perasaan Sari menjadi semakin tak tertahankan. Malam yang semakin larut tidak berhasil membuatnya tertidur. Ia merasa membutuhkan sesuatu. Akhirnya Sari berdiri, diambilnya sebuah majalah bergambar dari dalam lemari dan pergilah ia ke kamar Iman di loteng bagian belakang rumah. Pelan-pelan diketuknya pintu kamar Iman. Setelah diulangnya berkali-kali baru terdengar ada yang bangun dari tempat tidur dan membuka pintu.
Wajah Iman tampak kaget melihat Sari telah berdiri di depannya. Apalagi ketika wanita berkulit putih yang cantik itu langsung memasuki ruangannya. Agak kebingungan Iman melilitkan selimut tipisnya untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Melihat tubuh Iman yang tidak berbaju itu Sari menelan air liurnya. Lalu dengan nada agak ketus ia berkata, “Sana kamu mandi, jangan lupa gosok gigi.” Iman menatap kebingungan, “Sekarang bu?” Dengan nada kesal Sari menegaskan, ‘Ia sekarang ,,, udah gitu aja nggak usah pake baju segala.” Tergopoh-gopoh Iman menuju ke kamar mandi, memenuhi permintaan Sari. Sementara Iman di kamar mandi Sari duduk di kursi, sambil me!ihat-lihat sekitar kamar Iman. Pikirnya dalam hati, “Bersih, rapih juga ini anak.
” MENCOBA JANTAN Kira-kira sepuluh atau lima belas menit berselang Iman telah selesai. “Maaf bu …,” katanya sambil memasuki ruangan. Ia hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.”Saya pake baju dulu bu,” katanya sambil melangkah menuju lemari pakaiannya. Dengan nada ketus Sari berkata,”Nggak usah. Kamu duduk aja di tempat tidur … Bukan, bukan duduk gitu, berbaring aja.” Lalu sambil melempar majalah yang dibawanya ia menyuruh Iman membacanya. Sambil melangkah keluar Sari sempat berkata “Sebentar lagi saya kembali.
” Dengan kikuk dan kuatir Iman mulai membalik halaman demi halaman majalah porno di tangannya. Tapi ia tidak berani bertanya kepada Sari, apa sebenarnya yang wanita itu inginkan. Setelah saat-saat yang menegangkan itu berlangsung beberapa lama, Iman mulai terangsang juga melihat berbagai adegan senggama di majalah yang berada di tangannya itu. Ia merasa ‘alat kejantanannya mengeras. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Sari melangkah masuk. Iman berusaha bangkit, tapi sambil duduk di tepi pembaringan Sari mendorong tubuhnya sampai tergeletak kembali. Tatapan matanya dingin, sama sekali tidak ada senyuman di bibirnya. Tapi tetap saja ia terlihat cantik. “Iman dengar kata-kata saya ya. Kamu saya minta melakukan sesuatu, tapi jangan sampai kamu
cerita ke siapa-siapa. Mengerti?” Iman hanya dapat mengangguk, walaupun ia masih merasa bingung. Hampir ia menjerit ketika Sari menyingkap handuknya terbuka. Apalagi ketika tangannya yang halus itu memegang ‘barang kepunyaan’nya yang tadi sudah tegang keras. “Hm ….. Besar juga ya punya kamu,” demikian Sari menggumam. Diteruskannya mengocok- ngocok ‘daging kemaluan’ Iman, dengan mata terpejam. Pelan-pelan ketegangan Iman mulai sirna, dinikmatinya sensasi pengalamannya ini dengan rasa pasrah. Tiba-tiba Sari berdiri dan langsung meloloskan daster yang dikenakannya ke atas. Bagai patung pualam putih tubuhnya terlihat di mata Iman. Walaupun lampu di kamar itu tidak begitu terang, Iman dapat menyaksikan keindahan tubuh Sari dengan jelas.
Tertegun ia memandangi Sari, sampai beberapa kali meneguk air liurnya. Tidak lama kemudian Sari naik ke tempat tidur, diambilnya posisi mengangkangi Iman. Masih dengan nada ‘judes’ ia berkata … “Yang akan saya lakukan ini bukan karena kamu, tapi karena saya mau balas dendam. Jadi jangan kamu berpikiran macam-macam ya.” Lalu digenggamnya lagi ‘tonggak kejantanan” Iman dan diusap-usapkannya ‘bonggol kepala’nya ke bibir kemaluan’nya sendiri. Terus menerus dilakukannya hal ini sampai ‘vagina’nya mulai basah. Lalu ditatapnya Iman dengan pandangan yang tajam. Katanya dengan suara ketus, … “Jangan kamu berani-berani sentuh tubuh saya.” Setelah itu, … “Juga jangan sampe kamu keluar di ‘punyaan’ saya. Awas ya.” Lalu di-pas-kannya ‘ujung kemaluan’ Iman di ‘bibir liang kewanitaan’nya dan ditekannya tubuhnya ke bawah. Pelan- pelan tapi pasti ‘barang kepunyaan’ Iman menusuk masuk ke ‘lubang kenikmatan’ Sari. ‘Aduh … Ah …
Man, besar amat sih” demikian Sari sempat merintih. Setelah ‘kemaluan’ Iman benar-benar masuk Sari mulai menggoyang pinggulnya. Suaranya sesekali mendesah keenakan. Tidak lama kemudian dicapainya ‘orgasme’nya yang pertama. Hampir seperti orang kesakitan suara Sari mengerang-erang panjang. “Aah … Aargh … Aah, aduh enaknya … ” Seperti orang lupa diri Sari mengungkapkan rasa puasnya dengan polos. Tapi ketika Sari sadar bahwa kedua tangan Iman sedang mengusapi pahanya yang putih mulus, ditepisnya dengan kasar. “Tadi saya bilang apa …!” Iman ketakutan, … “Maaf bu.” Lalu perintah Sari lagi, … “Angkat tangannya ke atas.” Iman menurutinya, katanya …
“Baik bu.” Begitu melihat bidang dada dan buluketiak Iman Sari kembali terangsang. Sekali lagi ia menggoyang pinggulnya dengan bersemangat, sampai ia mencapai ‘orgasme’nya yang kedua. Setelah itu masih sekali lagi dicapainya puncak kenikmatan, walaupun tidak sehebat sebelumnya. Iman sendiri sebetulnya juga beberapa kali hampir keluar, tapi karena tadi sudah di’wanti-wanti,’ maka ditahannya dengan sekuat tenaga. Rupanya Sari sudah merasa puas, karena dicabutnya ‘alat kejantanan’ Iman yang masih keras itu. Dikenakannya kembali dasternya. Sekarang wajahnya terlihat jauh lebih lembut. Sebelum meninggalkan kamar Iman sempat ia menunjukkan apresiasi-nya.
“Kamu hebat Man …” lalu sambungnya “Lusa malam aku kemari lagi ya.” Setelah itu masih sempat ia berpesan, …. “O iya, kamu terusin aja sekarang sama Minah … Dia mau kok.” Iman hanya mengangguk, tanpa mengucapkan apa-apa. Sampai lama Iman belum dapat tertidur lelap, membayangkan kembali pengalaman yang baru saja berlalu. Kehilangan ke’perjaka’an tidak membuat Iman merasa sedih. Malah ada rasa bangga bahwa seorang wanita cantik dari kalangan berpunya seperti Sari telah memilih dirinya. PEJANTAN GAGAH Sesuai pesannya dua malam kemudian Sari datang lagi ke kamar Iman. Kali ini pemuda itu sudah betul-betul menyiapkan dirinya.
Jadi Sari tinggal menaiki tubuhnya dan menikmati ‘alat kejantanan’nya yang keras itu. Walaupun suaranya masih ketus meminta Iman untuk sama-sekali tidak menyentuh tubuhnya, kali ini Sari sampai meremas- remas dada dan pinggul Iman ketika mencapai ‘orgasme’nya. Bahkan tidak lupa wanita cantik itu sempat memuji pemuda yang beruntung itu. Katanya, … “Man, Pariman, kamu hebat sekali. Selama kawin aku belum pernah sepuas sekarang ini. Terma kasih ya.” Iman hanya menjawab terbata-bata, … “Saya … Saya … seneng … Hm … Bisa nyenengin bu Sari.” Sambil membuka pintu kamar Sari berpesan. Katanya, …. “Iya Man, tapi jangan bosen ya.” Lalu tambahnya lagi, …
“Udah, sekarang kamu terusin sama Minah sana. Aku mau tidur dulu ya.” Dua malam kemudian kembali Sari menyambangi kamar Iman. Kebetulan tanpa penjelasan apapun siangnya ia sempat meminta pemuda itu untuk mengganti seprei ranjang dan sarung bantalnya. “Man … Kamu capek nggak? Sari bertanya dengan lembut. Rupanya berkali-kali dipuaskan pemuda itu membuatnya sikapnya lebih ramah. Iman tersenyum, … “Nggak kok bu. Saya siap dan seneng aja melayani ibu.” Tanpa malu-malu langsung Sari melepaskan daster-nya. Setelah itu dilorotnya kain sarung Iman. Dengan takjub ia memandangi kepunyaan lelaki itu. Tanpa sadar sempat ia memuji, … “Aduh Man, udah besar amat sih kepunyaanmu.” Lalu sambil mengocok-ngocoknya Sari sempat berkata, …
“Hm Man, keras lagi.” Lalu sambil membaringkan tubuhnya ia meminta, … “Kamu dari atas ya Man. Aku mau coba di bawah.” Langsung Iman memposisikan ‘kemaluan’nya di antara celah paha Sari. Lelaki muda itu betul- betul terangsang melihat kemolekan nyonya muda yang sedang marah kepada suaminya itu. Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa ia boleh mencicipi tubuh yang seputih dan semulus ini. Apalagi Sari sekarang tidak lagi judes dan ketus seperti pada malam- malam sebelumnya, sehingga semakin tampak saja kecantikannya. Sempat terpikir oleh pemuda itu
mungkin judes dan ketusnya dulu itu hanya untuk mengatasi rasa malu dan gengsinya saja. “Man …” Sari memanggilnya lembut, setengah berbisik. “Iya bu …” “Kamu gesek-gesek punyaanmu ke punyaanku dulu ya. Terus masukinnya nanti pelan- pelan.” Diikutinya permintaan Sari, digesek-geseknya ‘bibir kemaluan’ Sari dengan ‘ujung kejantanannya.’ Sari mendesah kegelian, hingga membuat Iman lupa diri. Tangannya mulai mengusap-usap paha dan perut Sari. Tapi wanita cantik itu menepis tangannya. “Jangan sentuh tubuhku, jangan ….” serunya tegas. Iman segera berhenti,
ditariknya tangannya. Tidak berapa lama kemudian terdengar Sari meminta. “Man, masukin pelan-pelan Man. Tapi ingat … Jangan sampai keluar di dalam ya.” Pelan- pelan Iman mendorong ‘batang keras’nya memasuki ‘liang kenikmatan’ Sari. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit, ‘tombak kejantanan’nya menerobos masuk. Sari terus mendesah keenakan. “Maaf bu, saya mohon ijin memegang paha ibu, supaya punya ibu lebih kebuka.” Akhirnya Iman memberanikan diri meminta. Dengan terpaksa Sari mengijinkan, … “Iya deh. Tapi bagian bawahnya aja ya.” Begitu diberi ijin Iman langsung melakukannya. Walaupun tubuhnya tegak, karena kuatir menetesi tubuh Sari dengan keringatnya, ia dapat menghunjamkan ‘barang kepunyaan’nya masuk lebih jauh.
“Ah Man, enak sekali.” Sari berseru keenakan. Langsung Iman menggoyangkan pinggulnya, ke kanan dan ke kiri, mundur dan maju. Sari terus mendesah keenakan, semakin lama semakin keras. Pada puncaknya ia menjerit lembut dan mengerang panjang. “Aduh Man, aku udah. Aduh enak sekali. Aaah, Maaan …. Aaah!” Sementara beristirahat Iman menarik keluar ‘batang kemaluan’nya dan melapnya dengan handuk. Dengan tatapan penuh hasrat Sari memandangi ‘kemaluan’ Iman yang tetap kaku dan keras. Pada ‘ronde’ berikutnya Iman yang bertindak mengambil inisiatif. “Maaf bu …” katanya sambil kedua tangannya mendorong paha mulus Sari hingga terbuka lebar. Sari hanya mengangguk lemah, sikapnya pasrah. Rupanya rasa gengsi atau angkuhnya sudah mulai sirna di hadapan pemuda pejantannya.
Ditatapnya wajah Iman dengan seksama. Sekarang baru ia sadar bahwa Iman bukan hanya jantan, tapi juga lumayan ganteng. Begitu berhasil menembus ‘liang kemaluan’ Sari, yang merah merangsang itu, Iman mulai beraksi. Sekali lagi goyangannya berakhir dengan kepuasan Sari. … setelah itu sekali lagi … Sari tergolek lemah. Dibiarkannya Iman memandangi tubuhnya yang terbaring tanpa busana. Mungkin karena itulah ‘alat kejantanan’ Iman, yang memang belum ber-’ejakulasi,’ tetap berada dalam keadaan tegang. “Man … ” suara Sari terdengar memecah keheningan. “Kamu kok hebat sekali sih? Udah sering ya?” Iman menggelengkan kepalanya. “Belum pernah bu. Baru sekali ini saya melakukan. Sama ibu ini aja.” Dengan heran Sari menatapnya, lalu tersenyum karena teringat sesuatu.
Tanyanya langsung, … “Tapi udah dikeluarin sama Minah kan?” Jawab Iman, … “Belum kok bu.” Semakin heran Sari. “Lho yang kemarin-kemarin itu? Kan udah saya kasih ijin.” Dengan polos Iman menjawab, … “Iya bu, tapi saya nggak kepengen.” Sari penasaran, … “Lho kenapa?” Dengan polos Iman menjawab, … “Abis barusan sama ibu yang cantik, masa’ disambung sama mbak Minah. Rasanya kok eman-eman ya bu.” “Jadi selama ini kamu tahan aja?” Jawab Iman, … “Iya bu
0 comments:
Post a Comment