Warung Bebas

Sunday, September 30, 2012

Cerita Sex Awal Dari Pertemuan

Cerita Sex Awal Dari Pertemuan. Sore yang cerah, aku duduk gelisah sambil sesekali menatap jam dinding kantor pemberangkatan bus yang akan membawaku ke kota persinggahanku selanjutnya. Menunggu adalah pekerjaan yang meresahkan bagiku terutama menunggu sesuatu hal yang baru seperti ini. Perjalanan dengan bus dari Balikpapan ke Banjarmasin merupakan perjalananku pertama. Kulihat orang-orang disekitarku dengan beragam aktivitas mereka, ada beberapa calon penumpang yang saling bercakap-cakap, Cerita Sex.

Cerita Sex

Cerita Sex Awal Dari Pertemuan. bahkan bersendau gurau satu sama lainnya. Karena sendirian maka yang dapat kulakukan hanyalah menunggu serta memperhatikan mereka. Waktu telah menunjukkan 17.15 dan tempat pemberangkatan mulai dipadati calon penumpang, tapi aku tak tahu apakah mereka akan seperjalanan dengan aku karena sudah ada 3 bus yang siap berangkat dengan arah yang berbeda.

Kulihat tiket keberangkatan dan berjalan mendekat nomor bus yang dimaksud dalam tiket. Setelah memasuki bus tanpa kesulitan kutemukan tempat dudukku no 33. Aku agak lega ternyata nomorku tepat disamping jendela sehingga keinginanku untuk dapat melihat pemandangan luar terkabul meskipun aku sadar bahwa tak banyak yang akan kulihat karena ini merupakan perjalanan malam hari dan jendela bus ber-AC secara permanen tak dapat dibuka. Kulihat keluar jendela dan secara tak sengaja aku memperoleh pandangan yang menyegarkan. Sebagai seorang pria lagi bujang yang berumur 28 tahun, pandangan yang menyegarkan otakku adalah wanita. Sudah sejak tadi kucari pemandangan seperti ini tapi baru kudapatkan pada saat busku akan segera berangkat.

“Kenapa cewek-cewek itu tidak ada sedari tadi?”, umpatku dalam hati.
Kulihat cewek-cewek itu dari kaca jendela bus sambil mengira-ngira umur mereka, “yang rambut pendek sekitar 20-an, yang baju coklat sekitar 25-an, yang modis disana tak lebih dari 25-an, terus..”, kemudian otakku berfantasi jika saja salah satu dari mereka ada yang duduk di sebelahku pasti perjalananku ini jadi asyik. Tapi aku sadar seketika bahwa fantasiku tersebut tak mungkin jadi kenyataan ketika seorang pria berumur 50-an meletakkan sebuah tas disamping tempat dudukku dengan kasar. Belum hilang rasa kagetku pria tersebut meneriakkan sebuah nama sambil ngeloyor keluar bus.
“Busyet, sial banget hari ini!”, umpatku dalam hati.

Awak bus sudah bersiap-siap untuk memberangkatkan bus dengan memberi peringatan pada calon penumpang agar segera naik. Kulihat didalam bus juga mulai penuh, tapi pria yang mengagetkanku tadi belum juga menduduki kursinya disampingku. Bus mulai bergerak tapi kursi disampingku hanya masih terisi tas dari pria tadi. Aku tak peduli lagi dengan siapapun yang akan duduk disampingku, malahan aku berpikiran kalau memang hanya terisi tas aja malah dapat memberiku keleluasan dalam perjalanan ini, aku akan buat bantal tasnya dan menikmati perjalanan ini dengan tidur nyenyak dengan 2 kursi. Perhatianku sekarang ada pada pemandangan yang muncul di jendela. Tapi tak beberapa lama aku dikejutkan dengan suara wanita yang bersusah payah memindahkan tas disamping tempat dudukku dengan dibantu seorang awak bus dan kemudian wanita tersebut duduk disebelahku sambil berkata, “permisi ya, bang”, aku hanya tersenyum dan tak mengeluarkan kata-kata karena masih bingung dengan apa yang terjadi.

Lalu dengan rasa penasaran aku bertanya pada wanita tersebut, “Mbak, apa bener nomor tempat duduknya?, soalnya tadi yang meletakkan tas disini cowok.”
Sambil tersenyum wanita tersebut menerangkan kalau pria yang meletakkan tas itu tadi adalah suaminya yang hanya mengantarkan sampai ke bus aja.
Kemudian dia melanjutkan dengan pertanyaan, “Apa abang keberatan saya duduk disini?”.
Spontan langsung kujawab “Wah, nggak kok Mbak”.
“Jangan pura-pura, pasti kamu kecewa yang duduk disebelahmu wanita tua yang sudah bersuami lagi!”, kujawab dengan muka merah, “Nggak kecewa kok, lagipula Mbak juga kelihatan masih muda”.
“Jangan basa-basi, umurku udah 35 tahun kok dibilang muda.”, katanya.
“Tapi wajah Mbak kelihatan masih 25-an tahun.”, kilahku.

Sekilas kulihat senyum di bibirnya dan segera kutolehkan wajahku ke jendela untuk menghindari tanya jawab lagi karena aku merasa malu dengan tanya-jawab yang baru saja terjadi. Pemandangan diluar bus mulai gelap dan lampu didalam bus terang benderang sehingga terpantullah wajah wanita yang duduk disampingku di jendela kaca. Kuperhatikan dengan seksama, perawakannya khas wanita kalimantan, tinggi sekitar 160cm, kulit kuning agak kecoklatan, rambut hitam sebahu agak berombak, wajah lumayan, berat kuperkirakan sekitar 60 kilo-an, dan dengan mengenakan kaos ketat warna biru tua lekuk-lekuk tubuhnya yang lumayan menggoda kelihatan, celana jeans yang ketat menambah daya tariknya, “Tak salah aku tadi kalau bilang ia seperti masih 25 tahun-an”, gumamku dalam hati.

Setelah 30 menit perjalanan, bus memasuki antrian ke dalam fery. Bus berhenti dan sopir dan awak bus turun diikuti oleh beberapa penumpang yang ingin ke toliet. Aku duduk santai dengan pandangan lurus kemuka dan berusaha memejamkan mata, tapi tak berhasil. Kucoba merebahkan kursiku tanpa mengganggu wanita disebelahku yang saat ini lagi asyik membaca majalah. Dalam keadaan bus berhenti, aktifitas yang kubuat-buat dengan berganti-ganti posisi duduk supaya tak bosan ternyata tanpa kusadari mengundang perhatian wanita disampingku.

“Ngantuk ya?”, tanyanya
“Iya tapi nggak bisa tidur, Mbak”, jawabku polos
“Masih sore gini kok bisa ngatuk? Seperti anak kecil aja”, ejeknya.
“Capek Mbak, seharian jalan-jalan di Balikpapan”, jawabku seenaknya.
“Jalan-jalan? Apa hari ini liburan sekolah? Sekolah dimana kamu?” tanyanya lagi.
“Saya udah lulus kok”, kujawab dengan tenang tapi dalam hatiku merasa dilecehkan seperti anak kecil.
“Oh, kukira masih sekolah. Kelihatannya kamu masih muda sekali!”, aku cuman tersenyum saja mendengar alasannya, karena wajah & penampilanku menunjukkan lebih muda dari umurku yang hampir kepala 3 dan hal ini sudah seringkali terjadi.
“Darimana asalmu?”
“Saya dari Surabaya, seminggu yang lalu datang ke Tarakan, kemarin balik dan mampir ke Balikpapan, sekarang mau jalan-jalan ke Banjarmasin”, jawabku dengan sopan.
“Enak ya bisa jalan-jalan keliling!”
“Nggak Mbak, jalan-jalan ini karena kerjaan saja, kebetulan kerjaan berikutnya ada di Banjarmasin dan masih 3 hari lagi, daripada pulang balik waktunya aku pakai untuk jalan-jalan melihat kota-kota di Kalimantan.”
“Umurmu berapa?”, tanyanya sambil menutup majalah yang ada dipangkuannya sambil menoleh kepadaku.
“28″, jawabku dan langsung dibalas, “Masa sudah 28, kelihatannya masih 20-an”.
“Percaya atau nggak, pokoknya 28″, sambil berdiri dari tempat dudukku dan minta jalan untuk segera turun dari bus. Ternyata hawa diluar bus lebih hangat daripada didalam karena AC bus tak dimatikan sewaktu berhenti.

Setelah turun dari bus, aku berjalan ke kerumunan awak bus dan menanyakan kapan giliran busku masuk ferry dan menyeberangi Teluk Balikpapan yang lebar ini. Setelah mendengar jawaban dari awak bus dan petugas ferry bahwa busku hanya bisa masuk ferry yang besar sehingga harus nunggu sampai 2 jam lagi, maka dengan perasaan kesal aku berjalan ke arah sungai sambil mengeluarkan rokokku dari dalam jaket. Sambil menghisap rokokku dalam-dalam kurogoh jam di sakuku dan kulihat waktu sudah menunjukkan 20.00. Disertai terpaan angin dan hawa sungai yang khas, kunikmati kesendirianku dengan sebatang rokok.

Dari kejauhan kulihat busku mendapat tambahan penumpang dan yang menjadi perhatianku adalah seorang gadis cantik beserta ibunya naik melalui pintu belakang bus. Pikiranku kembali melayang membayangkan duduk disebelah gadis cantik itu, tapi pikiran sadarku melenyapkan lamunanku dan memaksa menerima kenyataan bahwa yang duduk disampingku adalah wanita ber-suami berumur 35 tahun. Sebenarnya aku tak menyesal duduk disamping wanita itu tapi obrolannya seringkali menganggap aku anak kecil, makanya aku turun dari bus sebenarnya untuk menghindari obrolan dengannya. Kekuranganku adalah sangat kaku dengan orang yang baru kukenal terutama wanita sehingga obrolanku hanyalah soal-soal sepele saja karena takut menyinggung perasaan, apalagi saat ini aku berada di daerah yang adatnya beda denganku meskipun aku sudah berkali-kali ke beberapa kota di Kalimantan.

Setelah capek keliling didaerah penyeberangan ferry, aku kembali naik kedalam busku. Aku kaget ketika mendapati tempat dudukku sudah diduduki wanita yang duduk disebelahku tadi.
Dengan tenang dia berkata dengan logat Banjar, “Ekam (kamu) duduk di tempatku lah!”.
Karena tak ingin ribut soal tempat duduk aku menuruti aja kemauannya. Sekarang wanita itu duduk disebelah kiriku dekat jendela dan aku disebelah kanannya dekat lorong bus.
“Berani benar wanita ini, kalau begitu aku harus bersikap sama dengannya”, umpatku dalam hati.
Belum habis kedongkolanku dia mengulurkan tangannya padaku sambil mengucapkan namanya, “Iswani, namamu siapa?”.
Dengan malas kujabat tangannya, “Antok”, jawabku singkat sambil menarik tanganku.
Tapi genggamannya erat seakan tak mau melepas tanganku, aku merasa dia berusaha merasakan kepalan tanganku. Kemudian dia melepas sambil berkata, “Tanganmu halus sekali seperti tangan cewek”, dengan tersenyum.
“Emangnya kenapa?”, tanyaku dengan ketus.
“Kerjamu apa? Pasti bukan kerja kasar”, tanyanya kembali dengan nada halus.
“Memang bukan, terus kenapa?”, sengaja kujawab dengan pertanyaan lagi.
“Ya, nggak kenapa-kenapa, kalau nggak mau jawab nggak apa-apa!”, dengan nada kesal.

Melihat raut mukanya yang kesal akan jawabanku aku tersenyum dalam hati sambil menatap wajahnya agak lama dan baru kusadari kalau wajahnya cukup menarik. Belum lama kunikmati wajahnya, dia menoleh padaku, secepatnya kualihkan perhatianku pada majalah yang dipegangnya. Merasa gugup dan salah tingkah, aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata-pun dan hanya menatap majalah yang ada di pangkuannya.
“Pingin pinjam?” tanyanya.
“Iya, iya ..”, jawabku patah-patah.
“Suka lihat cewek telanjang ya?”, tanyanya.
Bagai disambar gledek, aku terhenyak sadar bahwa sampul depan majalah gosip yang sedang kutatap adalah gambar cewek berbikini dengan pose menantang di pinggir kolam renang. Seketika itu wajahku memerah.
“Ah, Iya .. mm.. nggak kok Mbak”, sambil tersenyum malu.
Dia hanya tersenyum melihat tingkahku, “Nih majalahnya, jangan malu-malu, dong”.
Dengan perasaan campur aduk antara malu dan bingung kuterima majalahnya, lalu segera kubuka ke halaman tengah untuk menghindari gambar seronok, tapi justru yang kubuka adalah halaman poster dimana model yang ada dicover depan berpose lebih menantang lagi.
“Cakep ya!”, gumam Iswani yang ikut melihat halaman yang sedang kubuka.
“Eh, iya Mbak, sip banget”, jawabanku polos dan tak terkontrol lagi, tapi dalam hatiku mengumpat, “Sial, sial, sial..”
“Dasar cowok, kalau udah lihat cewek cakep pasti lupa istrinya”, celoteh Iswani.
“Jangankan istri, pacar saja saya belum punya kok”, jawabku sambil menutup majalah.
“Nggak usah bohong, Tok”
“Terserah Mbak, mau percaya boleh, nggak juga nggak apa-apa”
Kemudian kami mengobrol panjang lebar dengan berbagai persoalan sampai tak terasa kalau bus sudah masuk kedalam ferry.

Setelah ferry jalan, sopir bus mematikan mesin serta semua lampu bus dan menyilahkan penumpang naik ke ferry, tapi karena malas keluar aku berusaha merebahkan tempat dudukku agar bisa tertidur. Iswani bertanya padaku, “Nggak turun, Tok?”. “Malas, mau tidur aja disini”. “Dasar bayi, kerjanya tidur melulu”, olok Iswani padaku sambil berdiri dan berusaha melewati kakiku. Tanpa menyahutinya kupejamkan mataku, kurasakan kakiku mulai dilewati Iswani dengan susah payah karena sempitnya ruangan antara kakiku dengan tempat duduk depanku, tapi hal itu tak membuatnya menyerah atau membangunganku meminta jalan sejenak. Akupun cuek saja sambil membuka sedikit mataku dan kulihat Iswani melewatiku dengan membelakangiku sehingga pantatnya yang seksi berada tepat dimukaku. Sebenarnya aku ingin memegangnya tapi aku masih tahu diri. Tanpa sengaja langkahnya tersandung pahaku sehingga sandalnya lepas. Dengan agak berjongkok dia berusaha mengenakan kembali sandalnya dan mataku terbuka lebar karena pantatnya menggeser-geser pahaku.

“Kenapa nggak lewat-lewat?”, tanyaku pura-pura tak tahu masalahnya.
“Sandalku lepas, nah ini baru dapat!”, bersamaan dengan itu terdengar suara perahu mesin berpapasan dengan ferry sehingga terjadi gelombang yang membuat ferry sedikit mengayun. Ayunan gelombang yang sebenarnya tak seberapa itu membuat Iswani yang ada berdiri di depanku kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpaku yang lagi duduk. Karena kesigapanku aku berhasil menahan punggungnya sehingga dia terduduk dipangkuanku. Pantatnya menduduki daerah kemaluanku hingga dengan cepat burungku berdiri dan menonjolkan bagian depan celanaku.
“Nggak apa-apa, Mbak?”, tanyaku tepat diteliga kanannya.
“Nggak apa-apa, terima kasih ya!”, jawabnya sambil menolehkan wajahnya ke mukaku.

Karena gerakannya menoleh tadi, tanganku yang menahan punggunya lepas dan mengenai bagian samping payudaranya. Dalam remang-remang dalam bus wajahnya bertatapan dengan wajahku sambil menunggu redanya ayunan akibat gelombang.
Saat itu aku merasa tegang tapi Iswani sepertinya malah menikmati duduk dipangkuanku. Setelah kurasakan agak reda dari ayunan gelombang, aku menariknya berdiri lagi. Akhirnya ia dapat berdiri lagi dengan membelakangi aku tapi karena ruangan sempit maka bagian depan celanaku yang menonjol menggeser selakangan belakangnya. Kurasakan enaknya hingga dengan sengaja aku sedikit jongkok dan menggesek pantat dan selakangan belakangnya. Bukannya segera lewat dari depanku tetapi Iswani malah merapatkan gesekan sambil sedikit mengerang lirih “mmh..”, untungnya didalam bus tak ada siapa-siapa. Menyadari setiap saat ada orang yang dapat memasuki bus maka kutarik badanya kekanan hingga lepas himpitan badanku. Kemudian aku duduk kembali tanpa berani menatap wajahnya dan dia ngeloyor turun dari bus. Kupejamkan mata dan segera kulupakan kejadian mengasyikkan yang baru terjadi.

Samar-samar dalam tidurku terdengar suara gaduh penumpang yang kembali ke bus. Rupanya ferry telah sampai dan bus akan segera melanjutkan perjalanannya, tapi mataku masih sulit terbuka. Baru setelah teman dudukku melewati kakiku membuat aku terbangun, setengah sadar aku bertanya, “Jam berapa sekarang?”
“Baru pukul 21.00″, jawabnya.
Dengan setengah sadar kutegakkan kembali kursiku agar penumpang dibelakangku tak terganggu. Bus bergerak keluar dari ferry dan dalam 30 menit berbelok ke kanan dan berhenti di sebuah rumah makan.

Kali ini aku segera turun karena sudah lapar sekali. Aku langsung mengambil makanan yang telah disiapkan serta menyerahkan sobekan tiketku pada pegawai yang menghidangkan makanan. Selesai makan aku segera ke toilet untuk buang air kecil, lalu kembali ke bus dengan menghisap sebatang rokok. Aku merasa segar kembali, sambil menunggu untuk berangkat kembali, aku melakukan stretching disamping pintu masuk bus agar badanku tidak pegal semua karena terlalu lama duduk. Tiba-tiba aku merasa punggungku ditepuk orang, aku toleh kebalakang yang kulihat adalah Iswani.
“Kalau acara makan kamu cepat sekali, turun duluan, nggak nunggu aku”, ucapnya tanpa memberiku kesempatan bicara.
“Turun duluan saja dapat makan sedikit, apalagi nunggu Mbak, pasti keburu habis”, gurauku untuk menangkis olokannya.
Sambil mendorongku minggir untuk masuk kedalam bus dia berkata “Awas, ya!” dengan muka masam.

Perjalanan berlanjut melewati jalan aspal yang berukuran pas untuk 2 kendaraan seukuran kijang, beruntunglah dalam perjalan ini cenderung sepi, tapi bila berpapasan dengan truk atau sesama bus maka salah satunya harus turun dari jalanan aspal. Hal ini membuat bus bergoyang keras kekiri dan kekanan. Kali ini teman dudukku sangat diam, tapi aku tidak tahu apakah dia tidur atau masih terjaga karena lampu didalam bus dimatikan. Setelah 2 jam berjalan bus mulai memasuki daerah tanjakan dengan jalan yang berlika-liku. Goyangan bus sangat keras sekali ketika menikung karena sopir tidak mengurangi kecepatan sama sekali. Barang-barang dibawah kursi penumpang mulai berserakan tak terkecuali sandal dan sepatu penumpang yang dilepas. Aku sama sekali tidak khawatir dengan hal itu karena sepatuku tidak pernah kulepas, tapi tidak bagi teman dudukku. Dia kelihatan bingung mencari sandal kanannya yang hilang entah kemana.

Aku mencoba menenangkan, “Mbak, nanti aja dicari kalau bus berhenti dan lampunya dinyalakan, pasti ketemu.”
Bukannya tenang tapi dia malah marah, “Jangan bercanda, ayo bantuin cari.”
“Percuma gelap Mbak, nggak kelihatan apa-apa”, jawabku.
“Belum berusaha udah nyerah”, bentaknya padaku sambil membungkukkan badannya.
“Bukannya menyerah, Mbak, tapi aku kan tidak ikut punya sandal, kalau kaki Mbak juga bisa dilepas mungkin juga ikut hilang ya, hehehe..”, jawabku dengan bercanda.
Dalam remang-remang kulihat dia mendongkakkan kepala menghentikan pencariannya dan dengan cepat tangannya memegang bagian dalam pahaku lalu mencubitnya. Untung bisa kutahan jeritanku, tapi rasa cubitan itu benar-benar menyakitkan. Iswani ganti tersenyum dan tak melepaskan cubitannya berkata pelan, “Untuk tanganku ini nggak bisa dilepas, kalau bisa pasti sudah merah semua sekujur tubuhmu karena cubitannya”.

Kupegang tangannya yang mencubit sambil memohon, “Maaf Mbak, tolong lepaskan cubitannya nanti aku bantuin”.
“Kalau kamu bohong akan kucubit lagi ya”, ancamnya sambil melepaskan cubitannya.
“Iya, iya”, jawabku sambil menengok kebagian belakang bus kalau-kalau ada kursi kosong untuk pindah tempat dan menghindari cubitan berikutnya, tapi tak kutemukan.
“Cari apa Tok? Kursi belakang udah penuh tinggal sebelah sopir kalau mau pindah”, bisik Iswani di telinga kiriku.
“Ah, nggak kok Mbak”, sambil mengelus bekas cubitannya yang masih sakit padahal aku memakai celana jeans tebal. Ternyata siasatku sudah terbaca, “Sial”, ungkapku dalam hati.
“Ayo cepat carikan sandalku sebelum benar-benar hilang”, perintahnya padaku.
“Sebentar Mbak, cubitan Mbak masih sakit nih”, jawabku tak mau kalah.
“Ooo, pingin dicubit lagi ya?”, ancamnya lagi.
“Iya-iya”, lalu kurogoh saku jaketku untuk mengambil senter kecil yang biasa kubawa dan menyalakannya. Kuarahkan senterku ke sandal kirinya untuk melihat bentuknya lalu kubungkukkan badan kebawah kursiku, dengan senterku akhirnya terlihat sandal kanan Iswani ada dibawah tempat duduknya terjepit oleh kaki belakang kursinya dan dinding bus.

“Sudah ketemu Mbak”, kataku sambil menegakkan lagi punggungku.
“Mana?”, tanyanya. “Kejepit dibawah kursi Mbak, dari bawah kursiku tanganku nggak sampai, coba Mbak rogoh sendiri, mungkin tangan Mbak sampai.”
Belum selesai penjelasanku dia sudah membungkukkan badan dan berusaha mencari-cari dengan tangannya. Tapi usahanya gagal.
“Tok, coba kamu aja yang ambil tapi lewat sini”, sambil menunjuk ruangan diantara kedua belah paha kakinya yang sudah dilebarkan.
“Yang bener Mbak?”, meskipun dia memakai celana jeans tapi tetap aja rasanya nggak benar.

Dengan berbisik dia menenangkanku kalau hal itu nggak apa-apa karena lampu didalam bus gelap sehingga tidak akan ada yang melihat. Akhirnya kuturuti kemauannya, kubungkukkan badanku ke pangkuannya dan kumasukkan tanganku kebawah tempat duduknya untuk meraih sandal yang terjepit. Usaha pertama gagal karena tanganku tak sampai, lalu semakin kubungkukkan badanku lagi hingga mukaku hampir menyentuh resleting celananya. Tangan kananku sudah menyentuh sandal yang terjepit tapi masih belum dapat meraupnya. Semakin kubenamkan mukaku diantara kedua pahanya hingga daguku menggeser selakangannya dan tiba-tiba bus bergoyang agak keras sehingga aku hampir terjatuh, untungnya tangan Iswani dengan cepat menarik kepalaku dan kedua pahanya mengapit badanku sehingga kepalaku terhindar dari bagian belakang kursi didepan Iswani. Tapi akibatnya mulutku menyentuh daerah kemaluannya dan meskipun memakai celana jeans tapi aku yakin dia merasakan sentuhan tersebut karena tarikan tangannya pada bagian belakang kepalaku bertambah erat meskipun bus sudah tak bergoncang lagi. Dan akhirnya kudapatkan sandal yang terjepit itu. Dengan menopangkan tangan kiriku pada paha kanannya aku bersusah payah untuk berdiri dan akhirnya berhasil kembali ketempat dudukku kembali lalu keberikan sandalnya yang masih kugenggam dengan tangan kananku. Aku duduk lega sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya dan kulihat dia memakaikan sandal itu dikaki kanannya serta mengikatkan talinya dengan teliti sambil berbisik, “Terima Kasih, ya!”

Setelah minum dari botol aqua yang ada di tasku, tangan kananku kembali mengelus pahaku bekas kena cubitan Iswani yang masih sedikit perih.
Tanpa kusadari ternyata Iswani melihatnya dan berkata lirih, “Masih sakit ya, maaf ya!”.
Tapi aku tetap diam.
“Aku elus nanti pasti sembuh”, bisiknya sambil mengelus bagian dalam paha kiriku.
Burungku yang sedari tadi tidur tenang mulai menggeliat bangun terangsang oleh elusannya yang semakin lama semakin menuju pangkal paha. Elusannya sekarang berubah arah bagian celana tepat dimana burungku bersembunyi.

Malam semakin larut dan Iswani semakin berani, tubuhnya semakin mendekat ke tubuhku. Tangan kanannya yang sedari tadi diam mulai bergerilya membuka resletingku dan mulai memasuki celana dalamku. Kumiringkan tubuhku agak kekiri dan kutatap wajahnya. Kedua tangannya tetap menggenggam burungku sambil sesekali memainkan telornya. Tanganku tak mau kalah, kuletakkan tanganku diatas kaosnya dimana payudaranya berada dan kumainkan jari-jari menggoda daerah putingnya. Kulihat bibirnya mulai membuka karena mendesah lirih, tak kusia-siakan kesempatan ini untuk menyodorkan bibirku ke bibirnya dan melumatnya dengan dengan penuh semangat. Lidahku mulai bersentuhan dengan lidahnya, sesekali kusedot lidahnya dengan bibirku kedalam mulutku dan sebaliknya. Sementara itu tangannya memainkan burungku dengan gerakan mengocoknya. Tangan kiriku tetap menggosok-gosok payudaranya sedangkan yang kanan bergerak kebawah untuk membuka resleting celananya.

Setelah berhasil, kuraba bagian luar celana dalamnya tepat didaerah besarang kemaluannya dan sudah terasa agak basah. Kemudian kumasukkan tangan kananku kedalam celana dalamnya dan jariku mulai bermain-main dengan disekeliling vaginanya. Jari telunjukku mulai menemukan klistorisnya dan memejetnya dengan halus. Bersamaan dengan itu dia melepaskan ciuman dibibir serta melepas tangan kanannya dan tetap meninggalakan tangan kirinya di celana dalamku. Tangan kanannya mulai merangkul bagian belakang leherku hingga kepalaku tertarik ke bagian lehernya. Dengan cepat kusedot leher kirinya yang menghasilkan reaksi semakin liar. Jari jemariku tetap bermain didalam celana dalamnya hingga pantatnya terangkat sedikit yang merupakan tanda kalau vaginanya sudah tak sabar dimasuki jariku. Dua jariku langsung dengan mudah masuk kedalam vaginanya yang sudah licin dengan mudah.

“Ahh..”, desahnya lirih
Desahannya bagaikan bensin yang membakar semangatku untuk memainkan 2 jemariku dalam liang kenikmatannya makin cepat dan cepat. Akhirnya 2 jariku merasakan banjirnya cairan hangat yang disertai dengan tarikan kedua tangannya pada pergelangan tangan kananku agar kedua jariku tetap menancap tak bergerak didalam liang kenikmatannya yang paling dalam. Dengan napas yang berat dan nada yang putus-putus, Iswani mendesah.
“Mmh.. Hmm.. Tok.. Makasih ya..”

Setelah melepaskan pergelangan tanganku, dia kembali tenang dan kutarik 2 jemariku yang masih basah meninggalkan vaginanya lalu keluar dari celana dalamnya. Aku kembali duduk dan menoleh kekanan melihat keadaan sekeliling dalam bus yang tetap melaju dengan kencang. Kulihat penumpang disekitarku masih terlelap. Kulihat jam di saku jaketku menunjukkan 01.00. Kurasakan ujung burungku yang masih tegang dan terjepit oleh karet celana dalamku merasa kedinginan oleh hawa AC bus. Berniat memasukkan burungku kedalam celana dalam kulihat Iswani tertlungkup lunglai membelakangiku.

Tiba-tiba bus berbelok ke kanan sehingga tubuhku mengayun kekiri dan merangsek ke tubuh Iswani. Toleh kanan-kiri serta dan sedikit berdiri untuk melihat keadaan penumpang sekelilingku masih terlelap bahkan bangku belakangku kosong tak berpenumpang. Keberanianku semakin bertambah. Kupelorot celana dalamku hingga seluruh batang kemaluanku dapat mendongkak dengan bebas. Bagian depan tubuhku sudah menggeser punggung Iswani, tapi dia masih tetap bereaksi, mungkin karena sudah lemas. Tanganku bergerak cepat, kurasakan resleting Iswani masih terbuka, tangan kananku kembali masuk celananya tapi tetap diluar celana dalamnya sambil menekan-nekan bagian celana dalamnya yang sangat basah tepat didepan lubang kemaluannya. Pantat Iswani mulai sedikit bergoyang dan menggeser batang kemaluanku. Sudah tak tahan lagi maka segera kutempatkan kedua tanganku di bagian pinggul celana jeansnya untuk melorotkannya. Usahaku ternyata tak dihalanginya malahan dia cukup membantu dengan sedikit menopangkan pantatnya pada kakinya hingga celananya tak terjepit oleh tempat duduknya.

Sekarang celana dalam dan jeansnya udah merosot sampai paha. Posisinya yang membelakangiku menyebabkan pergeseran nikamat antara batang kemaluanku dengan pantat dan selakangannya. Tubuhku terus merangsek ke tubuhnya dan kedua tanganku sudah berada dalam kaosnya meremas-remas kedua payudaranya meski masih dilindungi Bhnya. Kurasakan ujung burungku menggeser bagiannya yang sudah amat basah. Kukeluarkan tangan kananku dan memegang batang kemaluanku untuk kuarahkan ke target yang benar. Dengan posisi duduk membelakangi aku dia agak menelungkup bertopang sisi kiri tubuhnya, pantat kiri tetap diatas kursi, pantat kanan sedikit terangkat sehingga lubang vaginanya siap menjadi target misilku. Kudekatkan kepalaku pada telinga kanannya, kuciumi pangkal lehernya. Nafas beratnya makin terdengar seiring dengan desahan halusnya, “Akh.. Ayo Tok, masukin..”

Tanpa menunggu aba-aba ujung misilku yang sudang berada di ambang kenikmatan menerobos masuk. Sebuah jeritan lirih membuat tangan kananku langsung menutup mulutnya, untungnya suara mesin bus masih sangat mendominasi suasana. Misilku masih belum bergerak, 3/4 bagiannya sudah masuk, sisanya menunggu usahaku. Iswani sudah tak sabar, dia mulai memaju-mundurkan pantatnya tapi tak berhasil karena terhimpit badanku dan kursi. Tiba-tiba bus bergoncang setelah berpapasan dengan truk sehingga turun-naik dari aspal. Akibat goncangan, batang kemaluanku semakin dalam menancap kedalam liangnya dan kuteruskan dengan gerakan maju mundur. Kulepas tanganku dari mulutnya, terdengar desahan halus, “Hmm.. Akh.. ah.. Ah..” Kulihat samar-samar Iswani menggigit bibir bawahnya dengan gigi atas ketika bus melewati rumah-rumah yang berlampu. Tangan kanannya menggengam tangan kiriku.

Gerakanku semakin cepat seiring dengan semakin erat genggaman tangannya. AC bus yang dingin tak dapat menahan butiran keringatku. Sedikit demi sedikit Iswani merubah posisinya dan berusaha duduk diatas kedua pahaku. Kubantu dia dengan mengangkat pinggulnya hingga ia benar-benar mendudukiku, celana dalam dan jeansnya yang kupelorot tadi sudah turun sampai pangkal kaki sehingga bagian bawah kedua pahanya yang mulus saling bergeser dengan bagian atas pahaku yang berbulu. Sekarang aku tak dapat bergerak tertindih olehnya. Dengan berpegang pada kursi didepannya dia melakukan gerakan naik turun yang berirama seiring dengan goncangan bus. Kenikmatan yang kurasakan benar-benar tiada bandingannya. Cengkeraman dinding vaginanya memberikan sensasi yang luar biasa pada perasaanku. Setiap gerakan naik, kedua pahanya mengapit kedua pahaku, dan batang kemaluanku terasa disedot. Lalu gerakan turunnya mengakibatkan ujung kemaluanku terasa dipaksa membuka hingga bagian mulut ujung kemaluanku menempel pada organnya yang lembut dan basah, dan pangkal batang kemaluanku turut menikmati sentuhan bibir vaginanya.

Gesekan antara paha, pantat serta usapan-usapan telapak tanganku pada bagian depan daerah kemaluannya yang berambut mempercepat klimaksnya. Iswani mulai memperlambat gerakannya, menutup apitan kedua pahanya, merebahkan punggungnya pada dadaku dan menengadahkan kepalanya dipundak kananku. Karena letak mulutku pas pada telinga kirinya maka kuserobot telinganya dengan ciuman mulutku. Kedua tangannya menggennggam erat kedua tanganku. Seiring dengan desahan halus yang keluar dari mulutnya, kurasakan otot-otot pahanya mulai menegang, jepitan vaginanya pada batang kemaluanku memberikan denyutan-denyutan yang disertai rasa hangat keluarnya cairan yang membasahi seluru batang kemaluanku. Denyutannya bersambut dengan denyutanku hingga misilku memuntahkan semua amunisinya dengan tekananan yang hebat. Tiga sampai empat kali tembakan misilku didalam liang kenikmatannya dibalas dengan denyutan vaginanya seakan menyedot batang kemaluanku untuk menguras semua isi misilku. Batang kemaluanku kembali berdenyut dan mengeluarkan semua sisa amunisinya hingga benar-benar habis.

Berdua kami menghela napas panjang selagi penisku beristirahat dalam liang kenikmatan miliknya. Iswani kemudian menegakkan badannya dan mengambil beberapa lembar tissu lalu menarik tubuhnya dari pangkuanku ke samping kiriku, ke tempat duduknya. Sambil membersihkan kemaluannya dengan tissu dia mengulurkan sisa tissunya untukku. Setelah membersihkan dan mengenakan kembali celana kami, aku sempat melihat jam di sakuku, kulihat pk 02.51, sebelum akhirnya tertidur pulas. Terbangun oleh suara gaduh awak bus serta penumpang yang siap-siap turun kulihat jendela bus sudah terang benderang. Kuambil botol aqua dari tas dan minum sampai tak tersisa isinya. Kupandang Iswani yang duduk disebelah kiriku masih memejamkan mata dengan raut muka kepuasan yang melelahkan. Kulihat busku melewati kota Martapura dan jam disakuku menunjukkan pukul 07.26. Sisa perjalanan kuperkirakan tinggal 1 jam lagi.
“Jam berapa Tok?”, tanya Iswani mengagetkanku.

“Setengah delapan”, jawabku.
“Di Banjarmasin nanti kamu nginap dimana Tok?”, tanyanya lagi.
“Nggak tahu Mbak, kalau udah nyampai baru cari penginapan”, jawabku santai.
“Aku ikut kamu, ya?”, tanya sambil tersenyum menggoda.

Pertanyaan Iswani tadi menutup cerita perjalananku Balikpapan-Banjarmasin dengan bus AC. Jawabanku akan pertanyaannya yang terakhir akan menentukan ceritaku selanjutnya di kota Banjarmasin nantinya.

Saturday, September 29, 2012

Cerita Paling Hot - Rintihan Kalbu

Cerita Paling Hot  Rintihan Kalbu - Suara gemuruh dari TV yang telah habis menayangkan programnya membuatku terjaga dari tidur di sofa. ku lirik jam di dinding telah menunjukkan hampir puku l 2 dini hari. ku tarik nafas panjang untuk menghilangkan rasa sesak di dada, 2 bulan sudah berlalu sejak kepergiaan istriku . Cerita Hot

Cerita Paling Hot

Cerita Paling Hot  Rintihan Kalbu - ku padamkan lampu-lampu yang tidak perlu lalu perlahan ku buka pintu kamar anak-anakku tercinta, nampak mereka sudah tertidur dan ku lihat Lily juga tertidur di samping anak-anakku. Perlahan ku bangunkan dia, “Ly.., Ly..,” panggilku perlahan untuk tidak membuatnya terkejut.

“Hghh..,” sahutnya perlahan seraya membuka matanya yang masih mengantuk.
“Pindah ke kamar depan dech, suamimu mungkin tidak menjemput malam ini,” ujarku berbisik.
“Oh..,” sahutnya sejurus kemudian dan keluar dari balik selimut.

Tampak Lily telah mengenakan daster yang cuku p tipis sehingga nampak leku kan tubuhnya yang seksi, belahan buah dadanya juga putingnya oleh karena dia tidak menggunakan bra, dan celana dalamnya berwarna pink dengan gambar doraemon di bagian pantatnya, yang sempat ku lihat sebelum ia menghilang di balik pintu. ku kecup pipi kedua anakku sendiri sebelum ku rapatkan kembali pintunya dan pergi ke kamarku sendiri untuk beristirahat dan kerja kembali esok hari karena cuku p banyak juga pekerjaan yang tertinggal selama ini.

Subuh ku terbangun oleh deringan jam meja yang telah ku persiapkan malam sebelumnya, mandi pagi dengan air dingin membuatku segar dan siap untuk bekerja.

“Bagaimana? Sudah kau pikirkan?” tanya suara lembut itu yang sangat ku kenal.
“Bu..,” sahut Lily putus di tengah jalan
“Yach.. Mas Elmo masih muda, mungkin suatu saat dia akan mencari pengganti Linda almarhum kakakmu itu, kalau sudah begitu apakah Ibu masih diijinkan tinggal di sini?” keluh Ibu sejurus kemudian
“Tapi Bu,” Lily berusaha membantah perkataan Ibu
“Yach.. Ibu pikir daripada kamu di sana di sia-sia lebih baik lepaskan Mas Indramu itu, mungkin Mas Elmo akan ijinkan Ibu tinggal di sini, tapi apakah calonnya akan mengijinkan juga?” masih tetap dengan suara lembut yang membujuk.
“Bagaimana dengan Ricky Bu?” tanya Lily lirih.
“Anakmu itu sudah cacat, kamu ya harus berpikir untuk kebaikannya bukan untuk dirimu sendiri, Ibu rasa mungkin dia akan lebih berbahagia bilamana di tempatkan di panti asuhan oleh karena bisa bermain dengan teman-teman senasibnya. Justru dia akan menderita kalau kamu paksa untuk bergaul dengan anak-anak normal lainnya,” saran Ibu melanjutkan

Hening kemudian hanya denting piring yang beradu dengan sendok yang sedang dipersiapkan oleh Ibu mertuaku dan Lily putri bungsunya.

“Seandainya kau bisa memiliki Mas Elmo, kita masih bisa tinggal di sini bila tidak Ibu tak tahu kita harus kemana lagi?” keluh Ibu.
“Bu..,” hanya itu ucapan Lily terputus ketika tiba-tiba..
“Good morning, Pa,” teriak Shanti anakku yang paling kecil dari atas tangga menyapaku yang sedang terdiam di tangga mendengarkan percakapan tadi yang berasal dari ruang makan.

“Good morning honey,” sapaku pula seraya melanjutkan langkahku menuruni tangga.
“Hi.. Shanti,” sapa Lily seraya menunjukkan wajahnya dari pintu ruang makan.
“Hi.. aku mandinya nanti yach,” ujarnya seraya kembali ke kamarnya terburu-buru.
“Eehh.. kakak mana?” Lily bertanya dengan nada yang cuku p keras.
“Masih bobo..,” terdengar balasan dari balik pintu kamar tidur.
“Pagi Mas,” sapa Lily sambil tersenyum manis.
“Pagi juga,”
“Pagi Bu,” sapaku melanjutkan setelah bertemu dengan Ibu di ruang makan itu.
“Pagi,.. ini nasi goreng buatan Lyly nich,” promosi Ibu melanjutkan.
“Wah.. terima kasih nich sudah merepotkan,” ujarku sedikit berbasa basi.
“Sudah buruan makan.. nanti keburu dingin jadi nggak enak, biar Ibu bangunkan anak-anak dulu,” tukas Ibu.

Dengan cekatan Lily melayaniku dengan mengambilkan nasi goreng tersebut sementara aku sendiri menyeruput secangkir teh manis sebagaimana kebiasaanku sejak dulu. Di kantor pikiranku juga masih berkutat dengan pembicaraan Ibu tadi pagi, sehingga sebenarnya tidak seluruh pikiranku terkonsentrasi untuk pekerjaan. Masih terngiang-ngiang kemungkinan aku untuk memperistri Lily.. mungkinkah?

Sore hari saat pulang kerja..
Sementara Lily berlutut untuk mencapai rak lemari yang paling bawah, sedangkan aku berdiri di samping sambil memperhatikannya. Tanpa sadar pandanganku tertuju pada buah dadanya yang nampak indah dipandang dari atas tersebut. Nampak jelas lekukan buah dadanya oleh karena dia menggunakan kaos yang longgar sehingga bagian depannya agak terbuka saat dia dalam posisi yang sedikit membungkuk tersebut. Melihat pemandangan yang demikian mempesona, penisku terus saja menegang sehingga memperlihatkan tonjolannya di balik handuk yang kukenakan tersebut.

“Nach ini kaos..,” suaranya terputus di tengah jalan ketika dalam posisi berlutut seperti itu menyerahkan kaos yang kuminta padaku oleh karena pandangannya terpaku pada batanganku yang mengeras di balik handuk. Kusadari waktu 2 bulan telah berlalu tanpa hubungan sex tentunya sulit bagiku, namun tertutup oleh kesibukanku. Sedangkan baginya.. dimana Mas Indra, suaminya, yang sejak semalam berjanji untuk menjemputnya, setelah selama ini Lily membantu rumah tanggaku yang porak poranda sejak ditinggal kepergian almarhum Linda, istriku yang juga kakak dari Lily, mengurus anak-anakku, rumah tangga dan sebagainya.

Lily terdiam dan tertunduk malu yang bagiku itu adalah isyarat bahwa dia tidak menolakku, sehingga kuberanikan diriku untuk membuka handuk tersebut sehingga sekarang tersembullah batangku yang telah tegak menantang dengan tubuh telanjang seperti ini, dimana masih ada tetesan air yang masih belum mengering, kuyakin menambah sexy penampilanku malam itu.

Perlahan kubangunkan Lily dan segera kukecup keningnya perlahan turun ke arah pipi dan menelusuri lehernya. Dengusan nafas yang memburu membuat adrenalinku terus meningkat, kuusap lembut pundaknya, telinganya, disertai dengan kecupan hangat yang kulaku kan dengan sepenuh hati.
“Mas El.. jangan,” pintanya sesaat sebelum kucoba untuk melepaskan kaosnya.
“Lily,” gumamku dengan pandangan mata memohon sehingga kuyakin sulit baginya untuk menolakku terlebih deru birahinya juga terus merayap keatas ubun-ubun.
Kukulum putingnya yang masih kecil bak anak gadis, membuatku gemas.
“Mas.. ergh,” rintihnya perlahan.

Belaian hangat jariku terus mengusap seluruh permukaan kulitnya yang putih mulus halus terawat disertai dengan jilatan dan pijatan ringan. Perlahan kudorong Lily sehingga rebah di kasurku.
“Mas janji jangan dimasukkan yach.., aku masih milik Indra,” rintihnya kembali ketika kucoba mencopot celana pendeknya. Ternyata Lily tidak mengenakan celana dalam di balik celana pendeknya tersebut sehingga segera nampak rerumputan hitam dengan panjang yang seragam dan terawat dengan rapih.
“Iya aku janji,” sahutku tanpa berhenti melepaskan celana pendeknya tersebut.

Harum bau tubuhnya terus memompa birahiku namun perlakuanku tetap saja lembut dan tidak terburu -buru untuk membawa Lily menikmati belaian asmara ini. Jilatan mandi kucing yang kulancarkan ini membuat Lily semakin terlena dan pasrah. Jilatan demi jilatan yang menyusuri setiap inci permukaan kulit dadanya, turun ke lembah buah dadanya, terus turun menelurusi garis tengah untuk mencapai kubangan di tengah pusaran perut, membuat otot perutnya tertarik tertahan menahan geli nikmat yang tidak terkira.

Kulewatkan bagian padang ilalang hitam di sana, namun kumulai dari lipatan paha bagian dalam kanan dan kiri yang terus menuruni jenjang kakinya dari bagian dalam hingga mencapai punggung kakinya dan berakhir dengan teriakan tertahan yang disertai hentakan kakinya, “Akhh..”

Kubalikan tubuhnya dan kini jilatannya merayap naik dari bagian tumitnya menelusuri betis indahnya sedikit ke bagian dalam, tidak kupaksa untuk membuka lipatannya namun terus naik hingga ke punggung dan berakhir di sekitar tengkuknya yang mulus, disertai dengan bulu kuduknya yang telah berdiri membuatku semakin gemas, sehingga gigitan sedikit keras kuberikan padanya yang menambah sensasi nikmat, disertai dengan remasan jemari lentiknya pada bantal yang sempat diraihnya untuk berbagi kenikmatan.

Puas bermain di punggungnya kembali kubalikkan tubuhnya, sesaat mata kami sempat beradu pandang, terlihat sayu tertutup perlahan dan menggodaku untuk mengecup lembut bibirnya. Kulumanku mendapat balasan yang malu-malu dan segera kuterobos dengan lidahku untuk mengait lidahnya sehingga pagutan lidahku bagaikan aliran listrik untuk mencetuskan butiran keringat halus bagaikan tetesan embun di dahinya.

Perlahan namun pasti sambil berpagutan tersebut kunaiki tubuh mungilnya dan Lily sempat melirik ke kaca yang ada di lemari pakaian dan jelas nampak tubuh mungilnya sekarang berada dibawah tubuhku yang tinggi besar, sensasi tersendiri melihat tubuhku menindih tubuh mungilnya dimana baru kali ini dialaminya bahwa seorang pria yang bukan suaminya tengah menindihnya dalam keadaan tubuh yang bugil, telanjang bulat.

Batanganku yang telah mengeras tepat berada di atas perutnya dan ketika seluruh berat tubuhku telah menindihnya jelas sekali kurasakan getaran tubuhnya laksana menggigil akibat menahan birahi. Kulumanku belum kulepaskan dan lidahku terus bermain dengan lidahnya dengan respon yang semakin menggila disertai lenguhan birahi.

Ketika kulepaskan pagutan liar itu, segera ku buka lebar pahanya sehingga jelas terlihat ilalang hitam di bagian bawah telah lepek dan tanpa rasa malu-malu lagi Lily jelas membentangkan kakinya lebar-lebar, memberiku jalan untuk menerobos masuk. Namun tak kulakukan itu, sebaliknya perlahan kubuka lipatan bibirnya sehingga nampak celah memanjang bagaikan irisan roti dan diikuti dengan mengalirnya secara perlahan cairan kental mirip lem anak SD.

Setelah kujilat 1-2 kali sapuan, segera kuhisap kuat di antara celah yang terbuka itu dan segera kurasakan beberapa cc cairan kental bening itu bagaikan benang yang ditarik dari sumur paling dalam dibetot keluar, akibatnya..
“Mas..,” lengkingan tinggi Lily disertai dengan hentakan berulang kali dari pinggulnya yang tertarik ke atas dan kemudian berakhir dengan kekakuan pada tungkai kakinya selama beberapa saat dan berakhir dengan selesainya hisapanku pada celah vaginanya.

Kubiarkan Lily yang telah mencapai orgasme pertamanya, matanya masih tertutup rapat tak bergerak menikmati gulungan birahi yang mulai mereda menyisakan kelelahan yang teramat sangat. Sesaat kemudian belaian jari lentiknya yang mengusap wajahku menyadarkanku dari lamunanku.
“Thanks yach.., Mas belum yach?” tanyanya sendu merasa bersalah.
Segera kukembangan senyum manisku yang menusuk kalbu, “Enak..,” tanyaku suatu pertanyaan bodoh yang seharusnya tak perlu kutanyakan.
Anggukan halus dari Lily membenarkan pertanyaanku dan segera kulanjutkan “Pernah diberikan oleh Mas Indra?” selidikku untuk membandingkan kemampuanku.

Lily meraih penisku dan mengocoknya perlahan. “Mas Indra tidak pernah membelai, dia lebih suka tembak langsung dan itu juga nggak lama, sebentar juga keluar setelah itu tertidur tapi..,” sahutnya memutus di tengah jalan.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Kalo besar sich lebih besar Mas Indra, jadi tiap kali sakit sesudahnya. Mungkin kurang foreplay kali yach,” sahutnya untuk memberikan alasan.
“Oh..,” sahutku yang yakin bahwa apa yang kuberikan pasti lebih berkesan dibandingkan dengan Indra suaminya.

Buliran keringat halus di keningnya dan sepanjang lehernya menggodaku untuk kembali menjilatnya dan kali ini Lily mengelinjang geli. Namun tak kuperdulikan. Kujilat habis seluruh buliran keringat di dahi dan sepanjang lehernya menelusuri uratnya kanan dan kiri yang berkilau tertimpa sinar lampu dan tanpa terasa tubuhku yang besar kembali menindihnya dan sempat terdiam tatkala kurasakan batanganku terjepit di atas perutnya. Senyum penuh rasa malu berkembang di bibir Lily tatkala kedutan penis kuberikan padanya sehingga jelas terasa di atas perutnya. Pagutan lidahku kembali menghisap bibirnya disertai pilinan jari jemariku yang lincah bermain di antara kedua putingnya.

“Mas.. jangan,” pekiknya terkejut ketika kucoba untuk memasukkan penisku ke vaginanya.
“Iya dach.. aku bermain di depan aja yach,” janjiku menenangkannya.
“Aku kocok saja yach,” pintanya tergetar menahan birahi yang berusaha menerjang masuk oleh karena ujung kepala penisku telah berhasil membuka bibir kemaluannya dan bergesek di muara vaginanya. Aku menggeleng tanda tak setuju.
“Tapi jangan dimasukkan yach.. aku ngga mau merusak perkawinanku dengan Mas Indra, aku masih miliknya,” rintihnya tertahan antara sadar dan nafsu.
“Aku janji dech,” sahutku sekenanya oleh karena gesekan kepala penisku terus memberikan sensasi nikmat yang tiada taranya.

Hisapanku pada kedua putingnya, memaksa puting itu telah membesar sekitar 2 kali lipat dari semula, antara bengkak dan juga rangsangan yang ada aku tak mempedulikan itu, namun permainan lidahku di putingnya membawa kenikmatan tersendiri sehingga tanpa ada penolakan lagi yang kuterima tahu-tahu seluruh batang penisku telah tertanam di rongga vaginanya dan ketika Lily tersadar..
“Mas, kok dimasukkan, tadi janjinya nggak masuk,” protesnya dengan nada pasrah.
“Tanggung Li.., aku bener-bener nggak tahan,” kataku seraya mulai memompa.

Busyet bener dach otot-otot vagina Lily, masih sangat kencang walaupun dia pernah melahirkan, ototnya masih kencang sekali akibatnya tentu nikmat yang kurasakan ini bak bermain dengan anak ABG saja. Hal sama juga dirasakan Lily bahwa dinding vaginanya masih ketat sehingga ketika aku memompa, dia juga mengimbangi dengan goyangan pinggulnya untuk menekan ke atas, saat kutusukan masuk sedalam-dalamnya, dan itu juga dikombinasikan dengan kontraksi otot kegelnya yang sangat baik, sehingga yang kurasakan dan kunikmati adalah empotan vagina yang luar biasa.

Irama genjotanku semakin kuat dan menemukan iramanya dengan goyangan pinggul Lily, yang secara mencuri juga memandang di dinding kaca sehingga saat ini jelas nampak tubuh mungilnya timbul tenggelam di kasur busa mengikuti hentakan tubuhku. Buliran keringat sebesar jagung telah membasahi tubuhku dan tubuh Lily yang menetes ke kasur busa dan bantal, seiring dengan dengus nafasku yang terus berpacu ditimpali oleh lenguhan dan rintihan Lily yang berkejaran.

Semakin lama kurasakan semakin sempit liang vagina Lily, sehingga gesekan yang terjadi semakin mantap dan ketika kulirik jelas terlihat lipatan bibir vagina Lily saat ini mengikuti gerakan penisku, yang jelas menonjolkan urat darahnya berwarna kebiru-biruan keluar masuk laksana mengurut batang penisku.

Secara refleks sekarang Lily telah mengangkat secara maksimal kedua tungkainya ke atas untuk memaksimalkan nikmat dunia yang kuberikan dan kubantu dengan mengangkat kakinya lebih tinggi lagi dan meletakkannya dipundakku.
“Hhh.. hh..,” desisku seraya menghunjam-hunjamkan penisku ke dalam liang vaginanya sedalam mungkin.
“Aak..,” desisan halusnya juga tak kalah gencarnya mengiringi tingkatan birahi yang terus mendaki untuk mencapai kepuasan tertinggi. Tak lama kemudian kurasakan rasa penuh, gatal dan kurasakan adanya desakan dari dalam yang akan segera memuntahkan lahar sperma.
“Ugh.. ahh..,” pekik Lily tak tertahankan disertai dengan kejangnya ke dua tungkai kakinya dan tentu saja jepitan vagina itu menjadi maksimal sehingga akupun tidak tahan.
“Lily.. aku.. sampai,” teriakku tanpa tertahankan disertai dengan hentakan kuat menghantam vaginanya.

Crot.. crot.., bendungan lahar spermaku tak tertahankan lagi menyembur dengan dahsyatnya menghantam dinding mulut rahim Lily. Luluh lantak rasanya tulang belulang di tubuh, sehingga tubuh besarku bagaikan tak bertenaga ambruk menindih tubuh mungil Lily. Campuran keringat kami berdua di atas permukaan kulit memberikan sensasi tersendiri, sementara kesadaran kami juga hilang untuk sesaat.

Antara sadar dan tak sadar sempat kulihat bayangan Ibu diuar pintu kamar sesaat sebelum terdengar pintu yang ditutup, memang tadi pintu itu tidak tertutup rapat sich.
“Ibu yach?” tanya Lily memandangku terkejut.
Aku tersenyum dan mengecup keningnya dan membiarkan penisku untuk tetap berada di vagina Lily, sebaliknya Lilypun membiarkan vaginanya untuk tetap menampung penisku dan kamipun tertidur pulas karena kelelahan.

Keangkuhan - Cerita Khusus Dewasa

Keangkuhan - Cerita Khusus Dewasa - “Dan di saat ke-aku-an itu mulai menyerang dan merontokkan segi-segi kemanusiawian-ku, maka di saat-saat seperti itulah kelelakianku yang sejati menyeruak dari persinggahannya dan menyerukan keberadaannya.” Cerita Dewasa

Keangkuhan
Keangkuhan - Surabaya, sepuluh tahun yang lalu Pemuda Lee miringkan sedikit tubuhnya, mengangkat dagunya, memastikan kecakapannya terlihat nyata di depan cermin. Sebentar kemudian tangannya sudah terlihat sibuk menarik-narik ujung rambut yang semula begitu rapi di keningnya.
“Kali ini dengan yang benar-benar fresh.” Dan Lee tertawa dalam hatinya. Benaknya membayangkan adegan-adegan mesum seperti yang sering dilakukannya bersama gadis-gadis binal itu. Yang sekarang sedikit berbeda. Kali ini benar-benar orisinil.
Gadis lugu yang menunggu diajar.
Lalu Lee tersenyum setelah melirik bundel uang dalam dompetnya.
“Cukup.” Ucapnya dalam hati. Meraih kunci mobil dan melangkah keluar kamar. Lampu-lampu jalan menjadi saksi bisu tekadnya yang menggebu-gebu.
“Kali ini cukup seminggu.”
Dan menurutnya itu sudah terlalu lama. Tapi okelah, untuk pemula.

“Sampai sang waktu menamparku, aku takkan pernah bisa menyadari keberadaan takdir yang akan menghampiriku.”

“Gia.”
“Lee.” Menjawab seraya tersenyum simpul, pemuda itu merasakan kebanggaan itu melambungkan harga dirinya. Memang, dia tak pernah sekalipun dalam hidupnya berkenalan dengan gadis di bawah rata-rata. Dan itulah juga yang terjadi saat ini. Lee dan Gia di hadapannya, gadis yang menantang birahi siapapun yang melihatnya. Gadis yang baru saja ranum, yang belum pernah terjamah oleh tangan-tangan usil. Tapi Lee bukan pemuda sembarangan tanpa strategi. Menurutnya gadis lugu hanya bisa ditaklukkan dalam kepasrahan. Lain tidak. Untuk itu dia harus ekstra hati-hati. Terutama saat menyerahkan boneka beruang itu sebagai tanda perkenalan. Dia tentu saja tak ingin gadis Gia menolak hadiah perkenalannya, dan gadis manapun –termasuk Gia– adalah tipikal gadis biasa yang merona saat menerima hadiah boneka beruang.
“Thanks, tapi tak perlu.”
“Tidak apa-apa, asal kamu bisa tersenyum.”
Dan Gia tersenyum. Tersanjung.

“Panah-panah asmara menjeratku, mempermainkanku, bahkan aku tak pernah tersadar dari mimpi-mimpi yang dirangkainya dengan begitu indah. Dan sampai sejauh mana aku bisa mempertanyakan ketulusannya, jika yang kutahu hanyalah kebahagiaan saat-saat kubersamanya?”

Gia belum pernah menemui pemuda seperti Lee, yang menyanjungnya setinggi langit. Membuatnya merasa diperlakukan sebagai seorang wanita seutuhnya di usianya yang masih tergolong remaja. Lee bisa membelainya dengan mesra, mengungkapkan kehangatan itu dalam sanubarinya. Lee bisa mendengarkan semua keluh kesahnya selama berjam-jam tanpa sedikitpun menunjukkan raut kebosanan, untuk kemudian menghiburnya dengan kata-kata indah semanis madu yang bisa membuatnya bermimpi indah semalaman. Lee bisa membuainya dengan lilin-lilin romantis makan malam di restoran mewah dan hadiah-hadiah yang begitu bermakna baginya.
Dan Gia tak kuasa menolak saat Lee mengecup bibirnya seminggu kemudian.
“Jangan, Lee.”
“Maaf,” Lee menundukkan kepalanya dan merautkan wajah bersalahnya yang paling tulus, “aku sedikit kelewatan.”
Gia membenahi kancing-kancing bajuna yang terbuka. Matanya berkaca-kaca saat menatap kekasihnya dengan pandangan kebingungan.
“Maafkan aku, ya?” Lee mengangkat kepalanya dan membenamkan wajahnya ke dalam dekapan si gadis. Gia tak mampu melawan saat kepala itu menempel di buah dadanya. Kehangatan air mata yang mendadak membasahi seragam sekolahnya begitu tulus. Air mata seorang pria yang penuh penyesalan.
Tapi Lee tidak mengambil keuntungan terlalu lama. Segala imagi negatif harus disingkirkan terlebih dahulu.
“Ayo kita pulang.” Senyum mengembang di sela air mata.
Gia mengangguk lemah. Menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya saat kendaraan itu melaju.

“Lalu perasaan itu datang dan merenggut kewarasanku, membuatku seperti kehilangan akal sehat yang selalu kubanggakan. Tapi kebanggan itu secepat hilangnya secepat kembalinya. Dan kebanggaanku adalah pada letak ke-aku-anku.”

Siang itu Lee mengeluh. Uang kiriman sudah sangat tipis. Bahkan untuk membeli sebungkus rokok terasa susah mengingat siang nanti ia sudah berjanji dengan Gia untuk makan bersama.
Tapi namanya lelaki. Rokok dulu. Wanita belakangan.
Dan Lee menimbang-nimbang suatu alasan.
“Aku mau mengajakmu ke sebuah tempat, tapi kamu jangan kecewa.” Lee berkata pada Gia usai menjemput si gadis.
“Boleh.” Gadis Gia menjawab sekenanya.
Warung mie itu terlihat penuh sesak. Bau keringat menyatu bersama udara bekas hujan yang belum kering. Tapi Gia menghabiskan mie di hadapannya dengan nafsu menggebu, hingga Lee dapat melihat bulir-bulir keringat yang keluar dari kening si gadis.
“Lee, kamu tidak makan? Mau disuapin, ya?”
Tapi Lee hanya terpana. Ia tak pernah melihat kepolosan itu.
Baru sekali ini. Rencananya begitu berantakan. Ia semula mengira gadis itu akan menolak lalu akhirnya rencana makan siang mereka batal dan ia bisa menghemat uang sakunya. Ternyata gadis itu justeru menikmati makan siangnya dengan gaya yang begitu mempesona. Mempesona?
“Ah, ya. Suapin, dong.”
Bahkan Lee tak menghiraukan reputasinya sebagai anak bereputasi saat mata-mata sirik memandangi tangan Gia yang menyuapkan mie ke mulutnya. Ia begitu terpesona.
Tapi Lee hanya tertawa seusai mengantar Gia pulang.
“Gadis bodoh.”
Keangkuhan itu masih sebegitu kuatnya.

“Waktu menghancurkan dan mengikis kebekuan itu tanpa pernah disadari oleh pembawa cinta yang tersembunyi. Tatkala lagu-lagu burung cinta berkumandang yang ada hanyalah perasaan aku dan dia. Bukan aku lagi seperti diriku sendiri.”

Lee merasa pusing, makalah itu lenyap ditelan tumpahan kopi. Ingin rasanya ia menendang kucing budukan tadi namun apa daya si kucing lebih cepat menghilang.
Pemuda itu sekarang menekuni komputernya, mencoba mengembalikan empat halaman penuh kata-kata omong kosong yang sudah dirangkainya seharian.
“Lee, aku sedang butuh kamu.”
“Wah, aku sibuk. Besok saja.”
Tapi justeru Lee melewatkan dua jam yang berharga untuk menemani Gia menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya.
“Ini begini, dan ini begitu.”
Gia memandang wajah serius Lee sambil tersenyum. Perlahan gadis itu mengecup kening kekasihnya. Begitu mesra.
“Apa-apaan ini?”
“Aku sayang kamu, Lee.”
Dan Lee hanya bisa berkata, “Aku juga.”
Sejenak ingatan tentang makalah itu terbang lenyap. Berganti kemesraan dan sentuhan kehangatan. Gia membelai Lee dengan penuh kasih dan membiarkan pemuda itu menyusupkan jemarinya ke balik bajunya, memijat dan meremas buah dadanya. Lee terengah dan menikmati rangsangan yang mampir tanpa rencana.
Tapi kenikmatan itu terhenti saat Gia mendorong tubuh Lee menjauh. “Jangan kelewatan.”
Lee tidak mengumpat. Hanya tersenyum. Hanya kebingungan.
Karena ia bukan seperti dirinya sendiri.
Tapi Lee masih mengeraskan hatinya saat kembali ke dunia makalahnya yang sama sekali belum terselesaikan sekata-pun.
“Aku hanya sedikit terlena.”
Benarkah itu, Lee?

“Ah Keangkuhanku. Begitu aku memujanya setinggi langit dan bintang. Begitu aku mempertahankannya dalam setiap desing mata pisau yang mencoba meluluh lantakkannya. Begitu aku mencabarkannya walaupun aku tahu musuhnya adalah ambang kehancuran baginya.”

Tentu saja benar!!
Lee mulai merisaukan dirinya sendiri saat makalah itu selesai. Satu bulan sudah sangat-sangat jauh dari target yang sudah disiapkan. Dan Lee hanya bisa mendapatkan bibir dan seremas dada.
Ah, Lee hanya sedikit `terlena’.
Hayo, Lee. Buktikan kalau kamu hanya terlena. Kamu tidak ingin kalau sahabat-sahabatmu seprofesi mentertawakanmu, bukan?
Lee mendenguskan udara dari hidungnya.
Mau bukti kalau itu benar?
“Gia, aku mungkin tak bisa ke rumahmu nanti malam.”
“Tapi, Lee. Aku sudah masak semur lidah kesukaan kamu.”
Huh. Mau membuatku terlena? Sori saja.
“Maaf, ya. Aku harus ke kampus sekarang.”
“Lee…?”
Klik. Dan Lee tersenyum puas. Kalau tidak bisa mendapatkan yang lebih ya ditinggal saja. Lagipula dada sudah merupakan medali perunggu yang lumayan. Dan cara meninggalkan yang paling menyenangkan adalah dengan mencari masalah duluan. Jauhi.
Dan nanti malam dia bisa kembali ke pelukan Resky.
Malam yang hangat dan dada telanjang. Lee membiarkan gadis itu melumat kemaluannya. Jemarinya menjambak rambut gadis itu. Menggerakkannya ke atas dan ke bawah.
Beberapa saat kemudian Lee sudah menikmati pergumulannya dengan Resky. Gadis itu mengerang saat pemuda Lee menggerakkan pinggulnya dengan lincah, menekan dan menggesek, memenuhi liang kemaluannya dengan kehangatan. Dan Lee tersengat saat puncak rangsangan itu tak bisa dihadangnya.
“Gia…..”
Dan ia membayangkan sudut-sudut kamar yang temaram. Sosok gadis yang meringkuk, menangis meratapi ketidak hadirannya di atas tempat tidur. Terisak. Bantal yang basah. Bahu yang berguncang.
Mangkuk semur lidah di tempat sampah. Jadi makanan kucing buduk.
“Gia….……..”
Lee melompat, membiarkan Resky terlena dalam kenikmatan yang telah diberikannya pada gadis itu. Secepat kilat diraihnya handphone dan menelepon Gia.
“Kamu jadi ke sini? Tidak apa, ini kan masih pukul sepuluh.”
`Tidak apa-apa?”
“Tidak. Lagipula semur lidahmu masih di kulkas. Tinggal dihangatkan.” Entah mengapa Lee merasakan kelegaan itu dalam hatinya.
Sangat lega.
Kucing buduk? Enak saja.
Dendam kopi belum lunas, Cing.

“Tanpa terasa sang waktu terus berlari, meninggalkan rona pelangi yang mewarnai kehidupanku dengan pola-pola abstrak. Pola-pola yang memberikanku kenyamanan, semakin melenakanku dalam buaiannya. Tapi sosok keangkuhan itu tetap ada, entah mengapa.”

Gila. Sudah dua bulan berlalu. Tapi aku masih belum juga memperoleh kemajuan apapun. Lee mendesah dalam hatinya. Benaknya benar-benar galau.
“Kok lama, Lee?” Salah seorang sahabatnya bertanya.
“Katanya harus pelan-pelan.” Lee memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum. Walau tak dapat disembunyikan bahwa senyuman itu palsu.
“Jangan-jangan kamu……..hahahahaha.”
Tawa yang menyebalkan. Tuduhan yang ngawur.
“Enak saja. Siapa yang bilang begitu?”
Tapi Lee tersentak. Orang hanya marah kalau yang dituduhkan padanya benar adanya.
Baiklah. Desis pemuda Lee sambi berjanji pada dirinya sendiri.
Mari kita mengakhiri cerita roman picisan ini.

“Ah pemuda pecinta, seandainya engkau menemukan sosok ketulusan itu dalam diri penaklukmu…..”

“Jangan, Lee.”
“Maafkan aku, Gia.” Lee membalikkan tubuhnya dan bersiap melangkah pergi. Kepalanya terasa begitu pening. Lebih pening tatkala lengan gadis itu memeluk kakinya.
“Jangan tinggalkan Gia sendiri. Please.”
Please. Kata yang tak pernah bisa ditahannya. Air mata.
Lee mengeraskan hatinya, membiarkan gadis itu terseret bersama langkahnya. “Lepaskan, Gia!”
“Tidak, Lee. Tidak……”
“Gia.”
“Aku salah apa Lee? Aku salah apa?”
Kamu tak salah, Gia. Aku yang salah karena bertemu denganmu.
Lee mengeraskan hatinya. Gadis itu masih terseret. Isak tangisnya.
“Lee….”
Pemuda Lee tak tahan lagi, membalikkan tubuhnya dan memegang pundak si gadis Gia. Keras dan setengah mencakar.
“Dengar Gia! Aku tidak mencintaimu. Aku hanya bermain-main.”
Gia tersentak dan membeliakkan matanya yang berkaca-kaca. Tiada sepatah katapun keluar dari bibirnya yang bergetar. Lee mengangkat tubuhnya dan meraih pegangan pintu.
“Lee….” Kedua lengan itu kini memeluk pinggangnya.
Air mata membasahi pungungnya. Kehangatan dan kesedihan.
Lee berhenti. Keraguan terbersit di hatinya. Terenyuh. Tegakah ia?
“Kulakukan apapun asal kamu tidak pergi.”
Kali ini Lee yang tersentak. Apapun?
APAPUN???

“Wahai pemuda pecinta, apakah yang kaulihat di balik bening bola mata penaklukmu? Nafsukah? Atau kasih sayang dan ketulusan?”

Gadis Gia membiarkan pemuda itu menelanjanginya, menciumi seluruh bagian-bagian sensitif di tubuhnya. Pemuda yang menggelutinya adalah kecintaannya, buah hatinya. Kekasihnya. Lee mengeluh dan mendesah di balik nafsunya.
Bibir Gia bergetar saat jemari pemuda itu menyapu bulu-bulu kemaluannya dan meraba bibir vaginanya yang perlahan membasah. Lee merasakan ketegangan itu. Dia dapat mencium bau keringat seorang perawan yang belum pernah terjamah. Bau yang begitu harum dan menggoda setiap syaraf birahi dalam tubuhnya.
Pemuda Lee menempelkan ujung kemaluannya ke permukaan liang kehangatan si gadis Gia. Bersiap menusuk dan merenggut keperawanan itu.
Saat Lee melihat mata Gia.
Mata itu terbuka. Menantang penuh kepastian.
Lee menekan ujung penisnya.
Mata itu masih terbuka. Menantang. Pasti.

***

Musik masih mengalun, beberapa pemuda dan pemudi masih bergoyang dengan asyik. Tapi Ray sudah kehilangan pengaruh gin tonik yang sejam lalu masih memanasi otaknya.
“Lalu?”
Bapak di hadapannya tersenyum. Senyuman yang mengandung nuansa kegetiran disamping kerutan di kening dan bawah matanya, menodai jejak-jejak ketampanan yang masih tersisa.
“Sebentar, saya mau ke belakang dulu.”
Ray menghembuskan nafasnya. Lega karena tense itu sedikit meregang. Dipandanginya tubuh bapak yang baru dikenalnya satu setengah jam yang lalu. Ray menatap gelas kecil di hadapannya. Mendadak gin tonik itu tidak lagi terasa menggoda.

Pintu kamar mandi membuka. Pemuda berambut panjang itu menyusupkan kepalanya. Tersentak melihat sosok yang membungkuk di depan wastafel.
“Bapak……?”

Lee merangkul pemuda itu dan menumpahkan seluruh kepedihan yang tersimpan sepuluh tahun lamanya. Ray terbata. Tak mampu mengatakan sepatah katapun.

“Bapak…..
Bapak meninggalkannya.”

Dan Lee hanya terisak.
Ia menceritakan kisah terpendam itu.
Kisah yang membuatnya berubah.
Kisah yang membuatnya meratapi kesepian kehidupannya.
Karena pemuda ini begitu persis dengan dirinya.
Dan Ray sadar itu.
Sangat-sangat sadar, sampai kebingungan.

Café Pink, bersinar dalam derap musik dan goyangan anak muda.

Tenggelam dalam kepedihan.
Seorang bapak yang pathetic.
Dan seorang pemuda kebingungan.

“Jika kesempatan itu melambai padamu, jangan pernah lari dan menghindar. Karena kesempatan itu berarti kebahagiaan ataupun penyesalan …..untuk selamanya.”

Menara Cinta - Cerita Dewasa

Menara Cinta Cerita Dewasa - Dalam dunia ini mungkin aku bukan siapa-siapa. Bukan seorang selebritis, bukan pula seorang gadis yang bisa menempatkan diriku di antara kerumunan cowok-cowok di lorong kampus. Terkadang dalam hati kecilku tersirat rasa ingin demikian, ingin dikagumi, ingin dilihat dengan pandangan iri. Tapi semua keinginan itu tingal impian saat kulihat gadis pendek berkaca mata di depan cermin.Cerita Dewasa


“Ah, Mia. Kamu hanyalah gadis biasa,” demikian selalu kata hatiku berhasil menyeretku kembali ke alam sadar.

Demikian juga yang terjadi di hari Senin yang aneh itu.

“Mia, kamu ngga ke kantin?” tanya Febrita sahabatku. Kugelengkan kepalaku sambil tersenyum. “Ngga ah, aku mau ke ruang baca saja.”
“Kamu selalu begitu, menjauhi keramaian,” kudengar sahabatku mengomel.
“Masa?” tawaku kecil. “Kan enak sepi-sepi.”
“Hiii,” balasnya dengan mengerutkan wajah. Sesaat kemudian kami tertawa bersamaan. “Ya sudah deh,” ucap Febrita kemudian, “nanti sebelum pulang kamu hampiri aku di kantin, okay?”
Kuanggukkan kepalaku dan melangkah menuju ruang baca.

“Mia?” mendadak sesorang menyapaku. Kutolehkan kepalaku dan tidak melihat siapapun kecuali segerombolan pemuda yang asyik merokok di depan majalah dinding. Dengan heran kulangkahkan lagi kakiku.
“Mia kan?”
Kutolehkan lagi kepalaku dan nyaris melompat mudur saat seorang pemuda bertubuh jangkung sudah berdiri di belakangku. Pemuda itu tertawa melihatku menyeret langkah mundur, “Hey, kok jadi panik begitu.”
Kupalingkan wajahku ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari senyuman licik yang mengembang dari mulut seseorang. Ternyata tidak ada.
“Kamu nyariin apa? Aku disini, loh,” ucap pemuda itu lagi setelah ikut menolehkan kepalanya ke sana dan kemari. Kutatap pemuda itu dengan pandangan curiga, “Kamu siapa?”
“Aku Natan, kakak kelas kamu. Ingat? Yang nyuruh kamu naik sepeda keliling kampus waktu ploncoan?” Sekejap kemudian kenangan pahit itu terlintas kembali di benakku, saat beberapa kakak tingkat menyuruhku naik sepeda, sesuatu yang sangat kubenci, berkeliling kampus dengan kalung bawang di leherku. “Ingat.”
Pemuda itu memasang senyumnya kembali, “Aku mau pinjam catatan.”
“Catatan?” tanyaku heran.
“Iya,” sahutnya, “review ekonomi makro-nya Samuelson bab delapan.”
“Oh,” jawabku dengan mengangguk-anggukkan kepala. Kalau masalah pelajaran sih aku memang sudah terbiasa menghadapi anak-anak tukang pinjam.
“Jadi?”
“Ah, ya,” dengan sedikit gugup kurogoh tas besar di gendonganku dan mengeluarkan sebuah buku berwarna merah tua. “Ini.”
Sebenarnya dalam hati aku merasa heran, mengapa aku mau meminjamkan buku yang rencananya akan kubaca nanti pada seorang yang baru saja kukenal.
“Hey, thanks,” ucap pemuda itu. Matanya berbinar saat melihat buku merah di hadapannya. “Aku kembalikan besok?”
“Terserah,” jawabku tanpa sadar. Sesuatu menghipnotisku.
“Besok, di kantin, pukul setengah sepuluh.”
“Terserah.” Jawaban apa pula itu.
Jemarinya mendadak melayang dan mengetuk lembut kepalaku sebelum pemuda itu berlalu dengan tertawa dan mengucapkan sepatah kata, “Kamu lucu.”

Ah?
Aku mimpi.

“Feb, kamu ngga bakalan percaya deh.”
Febrita mengangkat kepalanya dan memandangku sambil bergumam tak jelas karena mie goreng dimulutnya, “Aa aa?” Dengan tertawa kutopangkan kepalaku di tangan, “Tadi ada cowok.” Febri langsung menelan makanannya dengan paksa, “Cowok?”
“Iya,” jawabku sambil tersenyum. lalu kuceritakan tentang cowok yang barusan saja meminjam buku catatanku.
“Tunggu,” mendadak wajah sahabatku berubah serius, “kamu bilang Natan?”
“Iya, kenapa?” tanyaku heran.
“Natan? Tinggi, putih, cakep?”
Baru kusadari apa yang membuatku terhipnotis seperempat jam yang lalu.
“Kayanya sih iya.”
“Curang!!” Febrita langsung histeris dan mengguncang-guncang tubuhku.
“Eh, eh, tunggu! Ada apa ini?”

dua

Dengan jantung berdebar tak karuan kupandangi setiap orang yang melangkah memasuki kantin. Aduh, aduh, seruan di hatiku semakin kencang setiap detik.
“Mana Mia? Kok belum datang?” tanya Febrita tak sabar.
“Mana kutahu,” bisikku seolah tak ingin Febrita merasakan kegugupanku.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima. Tapi Natan masih juga belum muncul. Perlahan rasa putus asa dan kecewa kembali merasuk di hatiku. “Sudahlah, ayo masuk. Cowok gituan paling masih sibuk dengan teman-temannya.” Dengan menganggukkan kepala lemah kuangkat tubuhku dan melangkah keluar kantin. Sayup-sayup bisikan itu kembali terdengar di hatiku, mengusik dan memastikan kenyataan, “Ah, Mia. Kamu hanyalah gadis biasa.”
Memang. Lalu kenapa?

Tapi catatanku?

tiga

“Mia, ada teman kamu tuh di depan.”
Huh, siapa sih yang main ke rumah sore-sore begini. Dengan kesal kutinggalkan tempat tidur dan melangkah ke luar tamu, “Siapa, Ma?”
“Ngga tau, katanya mau mengembalikan catatan.”
Mungkin karena setengah mengantuk dan baru mengalami hari yang mengesalkan aku tak sempat mencerna kata-kata mama. Langsung kulangkahkan kakiku dan membuka pintu depan. Dan di sana suara tawa menyambutku.
“Eh?” seruku tertahan dengan mata membeliak tak percaya saat melihat Natan berdiri di teras dengan tawa yang keluar dari mulutnya.
“Aduh,” ucapku tanpa sadar dan melarikan diri masuk ke dalam rumah menuju kamar tidur. “Kenapa, Mia?” sempat kudengar mama bertanya. Mana ku tahu, sahutku dalam hati kebingungan merapikan diriku di depan kaca.

“Kok lari?” tanya pemuda itu setelah aku melangkah keluar rumah.
Dengan wajah merah kugelengkan kepalaku. “Ngga apa-apa.”
Pemuda itu tertawa lagi dan menyodorkan buku merah kepunyaanku. “Nih, buku kamu.”
“Thanks,” sahutku dan mengambil buku itu.
“Aku yang thanks,” jawab pemuda itu. Aku sama sekali tak berani memandang wajahnya.
“Iya deh,” jawabku pendek.
“Sepertinya waktuku tidak tepat, ya?” kudengar pemuda itu bertanya.
Bukan. “Ngga kok,” sahutku cepat.
“Aku langsung balik saja, ya?”
Kok cepat?
“Terserah deh.”
Walau dalam hati aku kecewa namun aku tak bisa berkata apapun, hanya bisa memandang pemuda itu melangkah ke luar pagar. Derum mesin mobil terdengar beberapa saat kemudian, semakin lama semakin jauh.
“Teman baru kamu?” suara mama mengagetkanku dari belakang.
“Entahlah, Ma,” jawabku setengah berbisik dan melangkah masuk menuju kamar.

Kupandangi buku merah di samping kepalaku.
Apa yang baru saja terjadi? Apa yang akan terjadi?

Kubuka buku merah itu dan langsung mendudukkan tubuhku saat melihat gambar kartun seorang gadis berkacamata dengan lidah menjulur disertai bubble words “aku lucu loh”. Setengah kesal bercampur girang kututup buku itu dan tertawa sendiri. Mungkin aku sudah gila.

empat

“Masa? Dahsyat!” Febrita berseru dengan membelalakkan matanya setelah kuceritakan kejadian kemarin. “benar, aku ngga bohong,” ucapku seraya mengeluarkan buku merah yang sejak tadi malam entah sudah berapa kali kubuka dan kututup, hanya untuk melihat gambar di dalamnya. Febrita membuka buku itu dan memandangi gambar yang ada di halaman terakhir.
“Mungkin dia suka kamu, Mia.”
Masa?
“Mana mungkin sih, Feb. Memangnya aku siapa?”
Febrita memundurkan tubuhnya dan memandangiku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki seperti melihat hantu. “Iya, ya. Aku juga bingung.”
Dengan kesal kutarik ujung rambutnya. “Awas kamu.”
“Hai.”
Sapaan itu mengejutkan kami berdua. Febrita langsung mengerut di sudut kursi dan memandang dengan pandangan terkejut saat melihat seorang pemuda bercelana jeans hitam dan berkemeja kotak-kotak sudah berdiri di sebelahku.
“Eh,” hanya itu kata yang bisa kuucapkan. Natan tertawa kecil dan mengulurkan tangannya kembali lalu menjitak kepalaku lembut.
“Anak lucu.”
Dan aku sama sekali tak berusaha mengelak! Hanya tertegun, sementara Febrita bangkit berdiri sambil tersenyum-senyum. “Aku lupa ada janji di kantin.”
“Feb!” seruku menahan tapi Febrita sudah berlalu dengan tak lupa melirik penuh arti ke arahku. Aduh, sekarang tinggal aku sendiri dan…..

“Nanti malam di rumah?”
Ups! Kupalingkan wajahku, ternyata Natan sudah mendudukkan dirinya di sebelahku. Astaga! Astaga! Kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari pertolongan.
“Halo, kamu masih hidup?”
“Hah?” ucapku kaget, “Iya, iya, aku di rumah.”
Natan tertawa beberapa saat tanpa henti. “Kamu kenapa sih?”
“Ngga apa-apa,” jawabku masih setengah panik.
“Nat, ayo masuk, nanti terlambat,” mendadak seorang pemuda menghampiri kami.
“Oh,” sahut Natan sebelum bangkit berdiri. “Nanti malam jangan lupa mandi.”
Mandi? Mandi? Apa maksudnya?
Febritaaa!! Di mana kamu!

lima

Pagi itu aku bangun dengan suasana hati yang luar biasa. Seakan aku ingin berteriak pada semua orang di dunia ini kalau tadi malam Natanael Songko, kakak tingkat yang keren itu mengecup bibirku!
Bibir! Bibir! Seperti yang di film-film barat itu! Sebuah pengalaman sensasional yang tak mungkin kulupakan seumur hidupku. Suasana yang romantis di sebuah restoran elite. Dekapan hangat selama perjalanan pulang, dan sebuah kecupan yang lembut di bibir. Apa lagi yang kuharapkan dari hidupku?
“Duh, anak mama. Kok ceria sekali hari ini?” Mama tersenyum menatapku dari balik surat kabar. Dengan melompat kecil kuhampiri ia dan kupeluk hingga mama tertawa. “Aduh, kenapa lagi anak mama satu ini?”
“Aku sayang mama.”
“Mama juga. Tapi ada apa sih?”
“Rahasia dong,” jawabku lalu menuju ruang makan.

“Halo, Sayang,” papa memeluk mama dan mencium pipinya. Dalam hati aku ikut tersenyum, seolah bisa memaklumi. Mungkin tiga bulan yang lalu aku masih memandang dengan penuh keirian pada mama. Sekarang? Nggak lah.
“Hey, sini!” Papa berseru padaku. Kuhampiri lelaki setengah baya itu, memeluknya dengan hangat. Sejak kepergian papa ke Jepang tiga setengah bulan lalu untuk mengambil S2, memang terasa benar ada sesuatu yang hilang dalam keluarga kami.
“Mia kangen loh, Pa,” ucapku di telinganya. Papa tertawa dan menggandeng kami ke arah taksi.

“Sori Papa ngga bawa oleh-oleh banyak buat kalian,” ucap papa di meja makan. mama tersenyum dan menyodorkan mangkuk sayuran. “Ngga apa-apa, asalkan Papa bisa pulang dengan selamat kan cukup. Iya kan, Mia?”
“Iya,” jawabku dan menyeduh teh hangat di depanku. Mama tertawa dan berkata seraya melirik papa, “Tapi ngga bawa oleh-oleh sekalian untuk Mia ngga apa-apa kok, Pa. Mia nggak bakalan sedih kok, Pa.”
“Mama!” ucapku dengan nada sebal dan wajah memanas. Papa melirik ke arahku dan menyenggol sikutku. “Masa? Jadi sudah ada yang menggantikan Papa di hati anak Papa?”
“Ngga ada!” jawabku cepat. Mama tertawa lagi.
“Suruh ke sini nanti malam. Ini perintah.”
“Yah, Papa?” ucapku dengan nada lemas.

enam

“Hahaha,” terdengar papa tertawa dari depan teras. Dengan berdebar-debar kuteruskan memutar sendok teh itu walaupun kuyakin gula di dalamnya sudah larut sepuluh menit yang lalu. Akhirnya papa melangkah masuk dan menghampiriku. “Sudah, bawa sana tehnya.”
Nyaris aku bersorak girang melihat senyuman di wajah papa.
“Thanks, Pa,” seruku seraya memeluknya. Papa menggeliat dan tertawa kecil.
“Heh, heh. Apaan ini?”

“Papa kamu menarik, aku sama sekali tidak mengira kalau dia seorang dosen.”
Dengan tersenyum kuperhatikan Natan meminum teh hangatnya.
“Natan,” panggilku lirih.
“Ya?” pemuda itu meletakkan cangkir teh dan mengangkat kepalanya menatapku. Kutundukkan kepalaku dan memainkan jepit rambut di jemariku.
“Yang semalam itu…”
Mendadak Natan mengulurkan tangannya dan meletakkan telapak tangannya di atas jemariku. “Aku kan sayang kamu.”
Tersenyum kuangkat kepalaku menatap matanya.
Sungguhkah ini?

“Oh, aku punya sesuatu untuk kamu.” Natan melepaskan jemarinya dan merogoh ke balik punggungnya. Dengan berdebar kulihat Nathan mengeluarkan sebuah kotak kecil dibungkus plastik. “Apa itu?”
“Buka saja sendiri,” ucap pemuda itu dengan nada misterius.
Hati-hati kukeluarkan kotak itu dan membukanya.
“Astaga, Natan!” pekikku tertahan saat melihat sebotol parfum di dalamnya.
“Kamu suka?”
Melompat kubangkit berdiri dan memeluknya. “Makasih.”
Natan melepaskan pelukanku, melepaskan kaca mataku dan mengecup bibirku. Langsung kutarik kepalaku dan melirik ke dalam rumah.
“Gila kamu, ini kan di rumah.”
“Aku ngga ingin lupa rasa bibirmu.”
Wajahku langsung terasa panas.
Malam itu, sebelum pulang, Natan mencium bibirku lagi di dalam mobil. Satu kalimat yang terngiang di telingaku dan membuatku menyusupkan kepala ke balik guling dengan malu-malu. “Aku sayang kamu.”

tujuh

“Kamu bolos lagi?” tanya Febrita dengan alis berkerut.
“Tolong, Feb. Ini yang terakhir. Aku kan sekarang ulang tahun. Mana mungkin papa dan mama mengijinkan aku keluar sampai malam?”
Dengan menggelengkan kepalanya Febrita melambai, “Iya deh. Tapi jangan lupa katakan pada Natan kalau aku juga ingin punya cowok.”
Sambil tertawa kupeluk sahabatku. “Kamu baik deh.”
“Dari dulu,” ucapnya pendek.

“Bagaimana?” tanya Natan yang sudah menunggu di lapangan parkir. Kumiringkan kepalaku sedikit dan mengembangkan senyumku. Natan tertawa dan melangkah ke samping mobil, membukakan pintu untukku. “Silahkan Tuan Puteri.”

“Kita ke mana?” tanyaku setelah mobilnya meluncur di jalanan. Natan menggenggam jemariku dan menatapku. “I have something for you.”
“Oh, ya?” tanyaku ingin tahu.
Setelah parfum, gaun, gelang sampai ke kalung selama enam bulan hubungan kami, apa lagi yang akan diberikannya sebagai kejutan untukku? Pasti sesuatu yang istimewa mengingat hari ini ulang tahunku.

“Welcome to my humble house,” ucap Natan setelah membukakan pintu untukku. Dalam hati aku merasa sesuatu yang tidak benar sedang berlangsung di sini. “Nat, nanti kalau ada orang tua kamu bagaimana?”
“Mereka sedang di Jakarta, hanya ada pembantu dan sopir.”
Kuangkat kepalaku dengan ragu-ragu, memandang rumah besar yang pasti dua kali lipat rumahku itu di depan mata. “Ayo,” bisik Natan di telingaku dan menutup pintu mobil. Sesaat kemudian pemuda itu sudah menyeretku melintasi pagar kepintu ruang depan yang terbuat dari kayu jati berukir.

“Tutup mata,” bisiknya seraya tersenyum misterius di depan wajahku.
“Ngga mau ah,” jawabkumasih ragu-ragu. Natan tertawa dan meletakkan jemarinya di kedua mataku. “Ayo tutup, ini kejutan.”
Akhirnya kututup mataku dan kudengar suara pintu dibuka. Natan menuntunku masuk dan melangkah beberapa detik sebelum berkata, “Sekarang pelan-pelan duduk.” Mengikuti kata-katanya kududukkan tubuhku dan merasakan keempukan sofa di bawahku.
“Natan?” tanyaku saat merasakan pegangannya lepas dari lenganku.
“Ssshhh,” kudengar Natan berbisik tak jauh dariku.
“Buka mata,” akhirnya kudengar Natan berkata lembut.

delapan

Tak ada kata yang bisa kuucapkan saat melihat apa yang kulihat di hadapanku saat itu. Bermacam hidangan terhampar di sebuah meja kayu, dua batang lilin menyala di tengah-tengah meja, memberikan sedikit cahaya di ruangan yang remang-remang karena jendela ditutup.
“Natan,” bisikku lirih. Di sisi lain meja, Natan dengan tersenyum membungkukkan tubuhnya dan mengangkat naik sebuah kue taart cokelat dengan lilin berbentuk angka di atasnya.
“Selamat ulang tahun, Mia.”
“Natan,” lagi-lagi hanya namanya yang bisa kubisikkan. Perlahan kurasakan wajahku memanas dan air mata menetes di pipiku. Natan bangkit berdiri, menghampiriku dan memeluk leherku dari belakang.
“Kok nangis? Kamu ngga suka?”
Bagaimana bisa tidak suka? Seumur hidupku, saat inilah saat yang paling istimewa yang pernah kualami. Candle light dinner. Bagaimana aku bisa tidak suka? Bagaimana aku tidak menangis melihat mimpi-mimpi yang jadi kenyataan?
“Mia?” Natan berbisik di telingaku.
Dengan spontan kubalik tubuhku, menarik kepalanya dan mengecup bibirnya. Natan membalas melumat bibirku selama beberapa saat, sebelum menarik tubuhku menjauh, menyeka air mataku dan mencium keningku.
“Sudah, ayo kita makan.”
Masih terisak kubalikkan tubuhku menghadapi meja makan.

Ya Tuhan, apa yang diperbuatnya hingga aku tak merasa jatuh cinta padanya?

sembilan

“Bukan begitu, begini,” Natan berkata sambil tertawa. Tangannya menopang tubuhku hingga tak sampai terjatuh. Dengan wajah merah aku berusaha meluruskan tubuhku. “Susah.” Natan masih tertawa dan mencium bibirku.
“Belajar dong.”
Perlahan kuperhatikan lagi irama yang keluar dari tape-deck di samping tv dan menggerakkan kakiku seiring gerakan Natan. Beberapa saat kemudian tubuhku sudah limbung lagi, kali ini aku benar-benar terjatuh ke atas karpet.
Natan tertawa dan mendudukkan tubuhnya di sebelahku.
“Badanku lemas,” bisikku lirih.
Kurasakan Natan memeluk tubuhku dan menempelkan kepalaku di dadanya.
“Lain kali pelan-pelan saja.”
Bukan itu. Tapi tubuhku terasa lemas sekali. Dan rasa panas di kepalaku.
“Mia?” kudengar Natan berkata di telingaku. Aku tak sanggup menolehkan kepalaku, semua terasa berputar. Kuraih leher pemuda itu dan memeluknya erat-erat.

Natan mengecup bibirku….

sepuluh

Rasa nyeri dan dingin di tubuhku membuatku terbangun. Betapa terkejutnya hatiku saat kulit lenganku menyentuh kulit seseorang. Kuangkat tubuhku dan terkesiap melihat Natan berbaring di sebelahku…. telanjang bulat.
Aku juga… telanjang.
Kutarik tepian selimut di pahaku dan menutupi dadaku, bingung apa yang terjadi dan apa yang harus kuperbuat. Natan menggeliat dan membalikkan tubuhnya. Rambutnya kusut dan matanya terlihat berkantung, “Mia? Kamu bangun?”
“Natan…?” bisikku lirih, dan air mata mulai membanjir di pipiku. Kurasakan lengan pemuda itu melingkar di punggungku, bibirnya menempel di telingaku.
“Aku sayang kamu, Mia.”
Masih terisak kurasakan bibirnya menyentuh bibirku. Lengannya melepaskan genggamanku pada selimut dan menekan tubuhku berbaring.
“Natan….” desahku saat merasakan tubuh pemuda itu menindihku.
“Aku sayang kamu,” bisikan itu kembali mengiang di telingaku. Kurasakan getaran-getaran kecil di pori-pori tubuhku saat Natan membelai dan mengecup buah dadaku. Ingin rasanya kucampakkan tubuh pemuda itu, tapi tubuhku sendiri terasa begitu lemas dan benakku terasa berputar. Natan mengangkat kedua lenganku ke atas dan menciumi leherku. Panas merasuki tubuhku, membuatku menggelinjang dan mendesah.
“Ahhh,” erangku saat sesuatu menekan kemaluanku dan memaksa masuk. Rasa nyeri kembali menyerang selangkanganku.
“Mia,” kudengar Natan memanggil namaku dengan lembut. Kubuka mataku yang sedari tadi kupejamkan dan kulihat Natan memandangku hangat lalu mengecup bibirku yang setengah terbuka. Lalu kurasakan benda keras yang menyesak di kemaluanku tadi melesak dan menusuk dengan rasa nyeri yang luar biasa. Kudengar Natan mendesah dan mengerang di atasku. Perlahan kurasakan kesadaran mulai meninggalkanku dengan pertanyaan-pertanyaan ‘apa ini? apa itu’. Tapi kecupan-kecupan Natan di tubuhku menarik kesadaranku kembali, membuat tubuhku berguncang. Rasa nyeri itu perlahan menghilang saat Natan menggerakkan tubuhnya, berganti dengan rasa geli yang menyenangkan. Natan mengulum bibirku dan menarik lenganku melingkari lehernya. Benda keras itu bergerak-gerak di dalamku, memaksaku menggeliat dan mengerang. Perlahan tapi pasti suatu rasa merangsak naik dari selangkangan menelusuri tulang punggungku, membuka semua pori-pori kulitku, membuat bulu-buluku meremang. Mendadak langit kamar berputar di atas kepalaku, kilatan cahaya menggelapkan dan rasa pening sekejap menyerang kepalaku. Kurasakan benda keras itu tertarik keluar. Natan mengerang dan tubuhnya kaku di atasku.

“Mia, aku sayang kamu. Selamat ulang tahun, Sayang.”

Dan aku tak bisa berkata apapun juga, bahkan saat pemuda itu menyusupkan kepalanya di dada telanjangku. Pikiranku terasa kosong, tubuhku benar-benar lemas sekarang, walau rasa nyeri itu sudah jauh berkurang.
Apa yang terjadi? Apa yang sudah kulakukan barusan?

sebelas

Natan membetulkan letak kaca mataku sebelum mengecup keningku di depan teras. “Aku pulang dulu, Mia. Aku sayang kamu.” Dan aku mulai meragukan kata-kata yang sejak tadi sore mengiang di kepalaku dengan nada yang begitu menteramkan.
“Natan….”
“Ya?” pemuda itu membalikkan tubuhnya.
Kupeluk tubuhnya erat, berusaha meyakinkan bahwa Natan tidak menipuku dan mempermainkanku selama enam bulan ini.
“Aku sayang kamu juga.”
Kurasakan Natan membelai punggung dan rambutku.
“Akhirnya kamu katakan juga.”
Dalam air mata yang kembali mengalir di pipiku aku tertawa. Bahagia?

dua belas

Kami sempat melakukannya beberapa kali lagi dua bulan sesudahnya. Aku senang, karena Natan benar-benar sayang padaku. ia membuktikannya dengan tidak merubah perlakuannya padaku, masih penuh kasih sayang dan kelembutan. Hanya satu kata yang mengusik benakku setiap malam menjelang tidur, yaitu ‘dosa’. Karena sebagai anak yang terlahir di sebuah keluarga yang religius, mama dan papa berulang-ulang mengingatkanku untuk tidak terjerumus dalam seks pra-nikah. Tapi apa yang sudah kulakukan sekarang? Bahkan pada saat aku dan Natan melakukannya terakhir kali, aku mulai merasa menikmatinya. Kalau bukan aku berarti tubuhku.

Hingga suatu hari yang menyakitkan…..

“Film-nya bagus,” ucapku tersenyum padanya saat melangkah keluar gedung bioskop. Natan memandangku dan ikut tersenyum. “Sayang sekali heroin-nya harus mati. Jaman sekarang cerita yang happy-ending susah didapatkan.”
Dengan mengangguk kulangkahkan kakiku memasuki mobil.
Mendadak rasa pening yang amat sangat merasuk di kepalaku, membuat kakiku terpeleset dan tubuhku terjatuh di samping mobil.
“Mia?” seru Natan seraya mengangkatku beridiri.
Dunia terasa berputar. Kupegang atap mobil dan berusaha menghilangkan pening itu dengan menggoyangkan kepalaku. Sejak dua bulan lalu memang rasa pusing dan mual sering menyerang kepalaku dengan frekuensi tak teratur.
“Kamu ngga apa-apa?” tanya Natan masih memegangi pinggangku.
“Ngga apa-apa.”
“Aku antar kamu pulang saja.”
Mengangguk lemah kumasukkan lagi tubuhku ke dalam mobil.

Sesampainya di rumah kubuka lemari obat dan mengeluarkan sebungkus neuralgin kepunyaan mama. “Kamu sakit?” tanya mama di pintu dapur.
“Pusing,” jawabku lemah. Mama mendekat dan memegang lenganku, mendadak alisnya berkerut manatapku. “Kamu tambah gemuk.”
“Masa?” jawabku tak acuh seraya menyorong obat dengan air dingin. Kulepaskan lenganku dari mama dan melangkah ke kamar.

Pagi itu. Pukul tiga, rasa sakit kebali mengguncang otakku dan memaksaku bangun. Mendadak perutku merasa mual yang amat sangat. Kularikan tubuhku ke kamar mandi dan sekejap kemudian cairan lengket tumpah keluar dari mulutku dan memenuhi WC. Perutku melilit dan kepalaku sakit.
Ya Tuhan, pikirku dalam hati.
Aku hamil?

tiga belas

“Masa?” tanya Natan dengan wajah pucat keesokan harinya di kantin.
“Aku takut,” bisikku lirih. Natan menolehkan kepalanya dan memastikan tidak ada seorangpun yang memperhatikan kami.
“Lalu?” tanyanya, sebuah pertanyaan bodoh yang tak ingin kudengar saat itu. Kubetulkan letak kaca mataku, menatap pemuda itu berang. Ingin rasanya saat itu aku berteriak padanya, namun Febrita sudah menghampiri kami.
“Ayo, Mia. Kita masih ada tugas untuk dikerjakan.”
“Jawab sendiri pertanyaanmu,” desisku sebelum bangkit berdiri. Natan menatapku dengan pandangan sedih. Jangankan kamu Natan, aku sendiri yang punya tubuh juga merasa ingin mati.

empat belas

“Mia! Mia! Kamu kenapa?”
Febrita memegangi lenganku. Kurasakan semua orang mulai berkerumun dan mengelilingiku. Tak tertahan lagi kumuntahkan kembali semua isi perutku. Kudengar bapak dosen berseru, “Cepat bawa anak ini ke rumah sakit.”
Sesuatu terasa menusuk kepalaku saat lengan-lengan itu memapahku berdiri. Kilatan-kilatan kembali menggelapkan dan menerangi pandanganku. Perlahan suara-suara ribut berubah menjadi desau angin yang menghantarkan kegelapan itu memenuhi benakku.
Natan? Di mana kamu Natan?

Kularikan kakiku sambil berseru-seru memanggil nama kekasihku.
Ini bukan kehamilan….. Natan! Nataaaannn!!
lorong itu masih gelap dengan nebula-nebula menyelimuti pandanganku.

lima belas

Kubuka mataku saat kurasakan sebuah bibir yang kering mengecup pipiku lembut. Kulihat pemuda itu sudah duduk di sampingku. Wajahnya masih pucat seperti minggu kemarin saat kukatakan bahwa aku hamil.
Kukembangkan senyumku padanya dan ia ikut tersenyum.
“Sejak kapan di sini?” tanyaku lirih padanya.
Natan, masih tersenyum, membetulkan letak selimut yang menutupi tubuhku sampai ke dada. “Lumayan. Sekitar Satu jam-an.”
Kucoba mengangkat tubuhku tapi Natan menahan. “Tiduran saja.”
“Oke,” sahutku dan merasakan tubuhku benar-benar lemas. Kuacungkan tanganku ke arah kaca mata di samping tempat tidur. Natan mengambilnya dan memasangkannya di kepalaku.
“Kamu tahu sesuatu yang menyenangkan?” bisiknya lirih.
“Apa?” tanyaku ingin tahu.
“Kamu ngga jadi hamil,” jawabnya. Lalu kami berdua tertawa.
Tawa itu pahit. Kami berdua tahu itu.
Mendadak Natan menjatuhkan kepalanya di perutku dan menangis.
“Mia….”
“Ssshh, kok nangis?” Kubelai rambutnya yang ikal. Bahkan air mataku sudah habis sejak empat hari yang lalu.
Natan mengangkat kepalanya, meraih tanganku dan menciuminya.
“Hey, kan geli,” candaku. Natan tersenyum walau air mata masih terlihat di pipinya. “Betapa aku menyayangi kamu, Mia.”
“Aku tahu.”
Suasana mendadak jadi hening.
“Natan?”
“Ya,” jawab pemuda itu dengan lembut.
“Aku mau bercinta denganmu.”
“Hah?” pemuda itu lalu tertawa, “Sekarang? Di sini?”
“Ya. Di mana lagi?” ucapku tersenyum.

Natan menatap ke pintu kamar, tertawa dan membuka retsleting celananya.
“Dasar,” ucapnya tersenyum. Dengan tertawa kutarik tubuhnya ke atas tempat tidur. Natan menciumi bibirku, wajahku, telingaku, leherku, dada telanjangku. Membuatku menggelinjang dalam kenikmatan. Kubiarkan pemuda itu bergerak-gerak di atasku, memasuki tubuhku dan memenuhi rongga kewanitaanku dengan kelelakiannya. Bersama kami mengerang lirih dan mendesah lembut, tak ingin perawat-perawat itu tahu apa yang kami nikmati saat itu.
“Natan,” bisikku terengah. Natan mengangkat kepalanya dari dadaku. “Ya?”
“Keluarkan di dalam?” pintaku sambil melirik kepadanya. natan membelalakkan matanya. “Yang benar saja?” Sesuatu yang tak pernah dilakukannya.
“Benar,” bisikku padanya. Natan tersenyum dan sebutir air mata kembali jatuh di perutku. Aku sayang kamu, seolah matanya berkata demikian. Natan menundukkan kepalanya dan menggerakkan pinggulnya semakin cepat. Kurasakan sentakan demi sentakan memicu rangsangan listrik itu ke otakku.
“Natan,” desahku memanggil namanya. Natan menggeliat dan mengencangkan pinggulnya, menekan lama. Kurasakan semburan cairan itu panas di dalam kemaluanku. Kulegakan listrik yang sampai di otakku dengan menghembuskan nafas lega, sekejap kemudian endomorfin bekerja melenakanku dalam kelelahan dan kenikmatan yang tiada taranya.
Natan menyusupkan kepalanya di leherku dan berbisik, “Aku tetap sayang kamu, Mia. Selamanya.” Dan bahu pemuda itu beguncang kembali. Di sela isak tangisnya kurangkul lehernya dan berbisik menimpali.
“Aku juga, Natanael.”

Aku tahu, tak lama lagi aku akan meninggalkan dunia dengan kanker otak yang sudah mengeroposkan tubuhku. Namun apa yang selama ini menjadikan iri-ku sudah kubayar impas. Tak ada lagi yang kuharapkan selain menikmati masa-masa terakhirku di samping orang-orang yang kukasihi. Mungkin penyesalanku yang terutama adalah mengapa semua ini terlalu cepat berawal dan berakhir. Tapi itulah yang namanya hidup. Selalu penuh kejutan.

Saat kulangkahkan kakiku menelusuri anak tangga demi anak tangga menuju ke puncak menara untuk melihat gunung dan bukit di bawah, aku sadar bahwa akhirnya aku takkan sanggup menggapai puncak itu. Tapi bahagiaku karena aku menyaksikan sudah pemandangan indah itu dari celah tembok menara. Tak perlu muluk, yang penting bahagia, bukan?

Friday, September 28, 2012

Cerita Sex Ngentot Tante Jablay

Cerita Sex Ngentot Tante Jablay - Setelah 10thn menjalani rmh tangga dan telah dikaruniai 2 ank, tentunya kadang timbul kejenuhan dalam rmh tangga, Cerita Dewasa. untunglah karna kehidupan kami yang terbuka, kami dapat mengatasi rasa jenuh itu, Cerita Hot. termasuk dalam urusan seks tentunya.

Cerita Sex Ngentot Tante Jablay
Cerita Sex Ngentot Tante Jablay


Cerita Sex Ngentot Tante Jablay - awal dari segalanya adalah cerita dari istriku saat akan tidur, yang mengatakan bahwa evi tetangga depan rumah aq ternyata mempunyai suami yang impoten, aq agak terkejut tidak menyangka sama sekali, karna dilihat dari postur suaminya yang tinggi tegap rasanya tdk mungkin, memang yg aku tau mereka telah berumah tangga sekitar 5 tahun tapi blm dikaruniai seorang anakpun,

“bener pah, td evi cerita sendiri sm mama” kata istriku seolah menjawab keraguanku,
“wah, kasian banget ya mah, jadi dia gak bisa mencapai kepuasan dong mah?” pancingku
“iya” sahut istriku singkat

pikiran aku kembali menerawang ke sosok yg diceritakan istriku, tetangga depan rumahku yang menurutku sangat cantik dan seksi, aku suka melihatnya kala pagi dia sedang berolahraga di depan rumahku yang tentunya di dpn rumahku jg, kebetulan tempat tinggal aku berada di cluster yang cukup elite, sehingga tidak ada pagar disetiap rumah, dan jalanan bisa dijadikan tempat olahraga, aku perkirakan tingginya 170an dan berat mungkin 60an, tinggi dan berisi, kadang saat dia olahraga pagi aku sering mencuri pandang pahanya yang putih dan mulus karena hanya mengenakan celana pendek, pinggulnya yg besar sungguh kontras dengan pinggangnya yang ramping, dan yang sering bikin aku pusing adalah dia selalu mengenakan kaos tanpa lengan, sehingga saat dia mengangkat tangan aku dapat melihat tonjolan buah dadanya yg keliatannya begitu padat bergotang mengikuti gerakan tubuhnya.

Satu hal lagi yang membuat aku betah memandangnya adalah bulu ketiaknya yang lebat, ya lebat sekali, aku sendiri tidak mengerti kenapa dia tidak mencukur bulu ketiaknya, tapi jujur aja aku justru paling bernafsu saat melihat bulu ketiaknya yang hitam, kontras dengan tonjoilan buah dadanya yg sangat putih mulus. tapi ya aku hanya bisa memandang saja karna bagaimanapun juga dia adalah tetanggaku dan suaminya adalah teman aku. namun cerita istriku yang mengatakan suaminya impoten jelas membuat aku menghayal gak karuan, dan entah ide dari mana, aku langsung bicara ke istriku yang keliatannya sudah mulai pulas.
“mah” panggilku pelan
“hem” istriku hanya menggunam saja
“gimana kalau kita kerjain evi”
“hah?” istriku terkejut dan membuka matanya
“maksud papa?”
Aku agak ragu juga menyampaikannya, tapi karna udah terlanjur juga akhirnya aku ungkapkan juga ke istriku,
“ya, kita kerjain evi, sampai dia gak tahan menahan nafsunya”
“buat apa? dan gimana caranya?” uber istriku
lalu aku uraikan cara2 memancing birahi evi, bisa dengan seolah2 gak sengaja melihat, nbaik melihat senjata aku atau saat kamu ml, istriku agak terkejut juga
apalagi setelah aku uraikan tujuan akhirnya aku menikmati tubuh evi, dia marah dan tersinggung
“papa sudah gila ya, mentang2 mama sudah gak menarik lagi!” ambek istriku
tapi untunglah setelah aku beri penjelasan bahwa aku hanya sekedar fun aja dan aku hanya mengungkapkan saja tanpa bermaksud memaksa mengiyakan rencanaku, istriku mulai melunak dan akhirnya kata2 yang aku tunggu dari mulutnya terucap.
“oke deh pah, kayanya sih seru juga, tapi inget jangan sampai kecantol, dan jangan ngurangin jatah mama” ancam istriku.
aku seneng banget dengernya, aku langsung cium kening istriku. “so pasti dong mah, lagian selama ini kan mama sendiri yang gak mau tiap hari” sahutku.
“kan lumayan buat ngisi hari kosong saat mama gak mau main” kataku bercanda
istriku hanya terdiam cemberut manja.. mungkin juga membenarkan libidoku yang terlalu tinggi dan libidonya yang cenderung rendah.

keesokan paginya, kebetulan hari Sabtu , hari libur kerja, setelah kompromi dgn istriku, kami menjalankan rencana satu, pukul 5.30 pagi istriku keluar berolahraga dan tentunya bertemu dengan evi, aku mengintip mereka dari jendela atas rumah aku dengan deg2an, setelah aku melihat mereka ngobrol serius, aku mulai menjalankan aksiku, aku yakin istriku sedang membicarakan bahwa aku bernafsu tinggi dan kadang tidak sanggup melayani, dan sesuai skenario aku harus berjalan di jendela sehingga mereka melihat aku dalam keadaan telanjang dengan senjata tegang, dan tidak sulit buatku karena sedari tadi melihat evi berolahraga saja senjataku sudah menegang kaku, aku buka celana pendekku hingga telanjang, senjataku berdiri menunjuk langit2, lalu aku berjalan melewati jendela sambil menyampirkan handuk di pundakku seolah2 mau mandi, aku yakin mereka melihat dengan jelas karena suasana pagi yang blm begitu terang kontras dengan keadaan kamarku yang terang benderang. tapi untuk memastikannya aku balik kembali berpura2 ada yang tertinggal dan lewat sekali lagi,

sesampai dikamar mandiku, aku segera menyiram kepalaku yang panas akibat birahiku yang naik, hemm segarnya, ternyata siraman air dingin dapat menetralkan otakku yg panas.

Setelah mandi aku duduk diteras berteman secangkir kopi dan koran, aku melihat mereka berdua masih mengobrol. Aku mengangguk ke evi yg kebetulan melihat aku sbg pertanda menyapa, aku melihat roma merah diwajahnya, entah apa yg dibicarakan istriku saat itu.
Masih dengan peluh bercucuran istriku yg masih keliatan seksi jg memberikan jari jempolnya ke aku yang sedang asik baca koran, pasti pertanda bagus pikirku, aku segera menyusul istriku dan menanyakannya
“gimana mah?” kejarku
istriku cuma mesem aja,

” kok jadi papa yg nafsu sih” candanya
aku setengah malu juga, akhirnya istriku cerita juga, katanya wajah evi keliatan horny saat dengar bahwa nafsu aku berlebihan, apalagi pas melihat aku lewat dengan senjata tegang di jendela, roman mukanya berubah.

“sepertinya evi sangat bernafsu pah” kata istriku.
“malah dia bilang mama beruntung punya suami kaya papa, tidak seperti dia yang cuma dipuaskan oleh jari2 suaminya aja”
“oh” aku cuma mengangguk setelah tahu begitu,
“trus, selanjutnya gimana mah? ” pancing aku
“yah terserah papa aja, kan papa yg punya rencana”
aku terdiam dengan seribu khayalan indah,
“ok deh, kita mikir dulu ya mah”

aku kembali melanjutkan membaca koran yg sempat tertunda, baru saja duduk aku melihat suami evi berangkat kerja dengan mobilnya dan sempat menyapaku
“pak, lagi santai nih, yuk berangkat pak” sapanya akrab

aku menjawab sapaannya dengan tersenyum dan lambaian tangan.
“pucuk dicinta ulam tiba” pikirku, ini adalah kesempatan besar, evi di rumah sendiri, tapi gimana caranya? aku memutar otak, konsentrasiku tidak pada koran tapi mencari cara untuk memancing gairah evi dan menyetubuhinya, tapi gimana? gimana? gimana?

sedang asiknya mikir, tau2 orang yang aku khayalin ada di dpn mataku,
“wah, lagi nyantai nih pak, mbak yeni ada pak?” sapanya sambil menyebut nama istriku
“eh mbak evi, ada di dalam mbak, masuk aja” jawabku setengah gugup
evi melangkah memasuki rumahku, aku cuma memperhatikan pantatnya yang bahenol bergoyang seolah memanggilku untuk meremasnya.

aku kembali hanyut dengan pikiranku, tapi keberadaan evi di rumahku jelas membuat aku segera beranjak dari teras dan masuk ke rumah juga, aku ingin melihat mereka, ternyata mereka sedang asik ngobrol di ruang tamu, obrolan mereka mendadak terhenti setelah aku masuk,
“hayo, pagi2 sudah ngegosip! pasti lagi ngobrolin yg seru2 nih” candaku
mereka berdua hanya tersenyum.

aku segera masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku, aku menatap langit2 kamar, dan akhirnya mataku tertuju pada jendela kamar yang hordengnya terbuka, tentunya mereka bisa melihat aku pikirku, karena di kamar posisinya lebih terang dari diruang tamu, tentunya mereka bisa melihat aku, meskipun aku tidak bisa melihat mereka mengobrol?

reflek aku bangkit dari tempat tidur dan menggeser sofa kesudut yg aku perkirakan mereka dapat melihat, lalu aku lepas celana pendekku dan mulai mengocok senjataku, ehmm sungguh nikmat, aku bayangkan evi sedang melihatku ngocok dan sedang horny, senjataku langsung kaku.
tapi tiba2 saja pintu kamarku terbuka, istriku masuk dan langsung menutup kembali pintu kamar.
“pa, apa2an sih pagi2 udah ngocok, dari ruang tamu kan kelihatan” semprot istriku
“hah?, masa iya? tanyaku pura2 bego.

“evi sampai malu dan pulang tuh” cerocosnya lagi, aku hanya terdiam,
mendengar evi pulang mendadak gairahku jadi drop, aku kenakan kembali celanaku.

sampai siang aku sama sekali belum menemukan cara untuk memancingnya, sampai istriku pergi mau arisan aku cuma rebahan di kamar memikirkan cara untuk menikmati tubuh evi,
” pasti lagi mikirin evi nih, bengong terus, awas ya bertindak sendiri tanpa mama” ancam istriku “mama mau arisan dulu sebentar”
aku cuma mengangguk aja,

5 menit setelah istriku pergi, aku terbangun karna di dpn rumah terdengar suara gaduh, aku keluar dan melihat anakku yg laki bersama teman2nya ada di teras rumah evi dengan wajah ketakutan, aku segera menghampirinya, dan ternyata bola yang dimainkan anakku dan teman2nya mengenai lampu taman rumah evi hingga pecah, aku segera minta maaf ke evi dan berjanji akan menggantinya,
anakku dan teman2nya kusuruh bermain di lapangan yg agak jauh dari rumah,

“mbak evi, aku pamit dulu ya, mau beli lampu buat gantiin” pamitku
“eh gak usah pak, biar aja, namanya juga anak2, lagian aku ada lampu bekasnya yg dari developer di gudang, kalau gak keberatan nanti tolong dipasang yang bekasnya aja”
aku lihat memang lampu yang pecah sudah bukan standar dr developer, tapi otakku jd panas melihat cara bicaranya dengan senyumnya dan membuat aku horny sendiri.
“kalau gitu mbak tolong ambil lampunya, nanti aku pasang” kataku
“wah aku gak sampe pak, tolong diambilin didalam” senyumnya.
kesempatan datang tanpa direncanakan, aku mengangguk mengikuti langkahnya, lalu evi menunjukan gudang diatas kamar mandinya, ternyata dia memanfaatkan ruang kosong diatas kamar mandinya untuk gudang.

“wah tinggi mbak, aku gak sampe, mbak ada tangga?” tanyaku
“gak ada pak, kalau pake bangku sampe gak” tanyanya
“coba aja” kataku
evi berjalan ke dapur mengambil bangku, lambaian pinggulnya yang bulat seolah memanggilku untuk segera menikmatinya, meskipun tertutup rapat, namun aku bisa membayangkan kenikmatan di dalam dasternya.

lamunanku terputus setelah evi menaruh bangku tepat didepanku, aku segera naik, tapi ternyata tanganku masih tak sampai meraih handle pintu gudang,
“gak sampe mba” kataku
aku lihat evi agak kebingungan,
“dulu naruhnya gimana mbak? ” tanyaku
“dulu kan ada tukang yang naruh, mereka punya tangga”
“kalau gitu aku pinjem tangga dulu ya mba sama tetangga”
aku segera keluar mencari pinjaman tangga, tapi aku sudah merencanakan hal gila, setelah dapat pinjaman tangga aluminium, aku ke rumah dulu, aku lepaskan celana dalamku, hingga aku hanya mengenakan celana pendek berbahan kaos, aku kembali ke rumah evi dgn membawa tangga,

akhirnya aku berhasil mengambil lampunya. dan langsung memasangnya, tapi ternyata dudukan lampunya berbeda, lampu yang lama lebih besar, aku kembali ke dalam rumah dan mencari dudukan lampu yg lamanya, tp sudah aku acak2 semua tetapi tidak ketemu jg, aku turun dan memanggil evi, namun aku sama sekali tak melihatnya atau sahutannya saat kupanggil, “pasti ada dikamar: pikirku “wah bisa gagal rencanaku memancingnya jika evi dikamar terus”
aku segera menuju kamarnya, namun sebelum mengetuknya niat isengku timbul, aku coba mengintip dari lubang kunci dan ternyata….

aku dapat pemandangan bagus, aku lihat evi sedang telanjang bulat di atas tempat tidurnya, jari2nya meremas buah dadanya sendiri, sedangkan tangan yang satunya menggesek2 klitorisnya, aku gemetar menahan nafsu, senjataku langsung membesar dan mengeras, andai saja tangan aku yang meremas buah dadanya… sedang asik2nya mengkhayal tiba2 evi berabjak dari tempat tidurnya dan mengenakan pakaian kembali, mungkin dia inget ada tamu, aku segera lari dan pura2 mencari kegudang, senjataku yang masih tegang aku biarkan menonjol jelas di celana pendekku yang tanpa cd.

“loh, nyari apalgi pak?” aku lihat muka evi memerah, ia pasti melihat tonjolan besar di celanaku
“ini mbak, dudukannya lain dengan lampu yang pecah” aku turun dari tangga dan menunjukan kepadanya, aku pura2 tidak tahu keadaan celanaku, evi tampak sedikit resah saat bicara.
“jadi gimana ya pak? mesti beli baru dong” suara evi terdengar serak, mungkin ia menahan nafsu melihat senjataku dibalik celana pendekku, apalagi dia tadi sedang masturbasi.
aku pura2 berfikir, padahal dalam hati aku bersorak karena sudah 60% evi aku kuasai, tapi bener sih aku lagi mikir, tapi mikir gimana cara supaya masuk dalam kamarnya dan menikmati tubuhnya yang begitu sempurna??

“kayanya dulu ada pak. coba aku yang cari” suara evi mengagetkan lamunanku, lalu ia menaiki tangga, dan sepertinya evi sengaja memancingku, aku dibawah jelas melihat paha gempalnya yang putih mulus tak bercela, dan ternyata evi sama sekali tidak mengenakan celana dalam, tapi sepertinya evi cuek aja, semakin lama diatas aku semakin tak tahan, senjataku sudah basah oleh pelumas pertanda siap melaksanakan tugasnya,

setelah beberapa menit mencari dan tidak ada juga, evi turun dari tangga, tapi naas buat dia ( Atau malah sengaja : ia tergelincir dari anak tangga pertama, tidak tinggi tapi lumayan membuatbya hilang keseimbangan, aku reflek menangkap tubuhnya dan memeluknya dari belakang, hemmm sungguh nikmat sekali, meskipun masih terhalang celana dalam ku dan dasternya tapi senjataku dapat merasakan kenyalnya pantat evi, dan aku yakin evi pun merasakan denyutan hangat dipantatnya, “makasih pak” evi tersipu malu dan akupun berkata maaf berbarengan dgn ucapan makasihnya
“gak papa kok, tapi kok tadi seperti ada yg ngeganjel dipantatku ya”?” sepertinya evi mulai berani, akupun membalasnya dgn gurauan,

“oh itu pertanda senjata siap melaksanakan tugas”
“tugas apa nih?” evi semakin terpancing
aku pun sudah lupa janji dgn istriku yang ga boleh bertindak tanpa sepengetahuannya, aku sudah dikuasai nafsu

“tugas ini mbak!” kataku langsung merangkulnya dalam pelukanku
aku langsung melumat bibirnya dengan nafsu ternyata evipun dengan buas melumat bibirku juga, mungkin iapun menunggu keberanianku, ciuman kami panas membara, lidah kami saling melilit seperti ular, tangan evi langsung meremas senjataku, mungkin baru ini dia melihat senjata yang tegang sehingga evi begitu liar meremasnya, aku balas meremas buah dadanya yang negitu kenyal, meskipun dari luar ali bisa pastiin bahwa evi tidak mengenakn bra, putingnya langsung mencuat, aku pilin pelan putingnya, tanganku yang satu meremas bongkahan pantatnya yang mulus, cumbuan kami semakin panas bergelora
tapi tiba2

“sebentar mas!” evi berlari ke depan ternyata ia mengunci pintu depan, aku cuma melongo dipanggil dengan mas yang menunjukan keakraban
“sini mas!” ia memanggilku masuk kekamarnya

aku segera berlari kecil menuju kamarnya, evi langsung melepas dasternya, dia bugil tanpa sehelai benangpun di depan mataku. sungguh keindahan yang benar2 luar biasa, aku terpana sejenak melihat putih mulusnya badan evi. bulu kemaluannya yang lebat menghitam kontras dengan kulitnya yg bersih. lekuk pinggangnya sungguh indah.

tapi hanya sekejab saja aku terpana, aku langsung melepas kaos dan celana pendekku, senjataku yang dari tadi mengeras menunjuk keatas, tapi ternyata aku kalah buas dengan evi. dia langsung berjongkok di depanku yang masih berdiri dan melumat senjataku dengan rakusnya,
lidahnya yang lembut terasa hangat menggelitik penisku, mataku terpejam menikmati cumbuannya, sungguh benar2 liar, mungkin karna evi selama ini tidak pernah melihat senjata yang kaku dan keras,

kadang ia mengocoknya dengan cepat, aliran kenikmatan menjalari seluruh tubuhku, aku segera menariknya keatas, lalu mencium bibirnya, nafasnya yang terasa wangi memompa semangatku untuk terus melumat bibirnya, aku dorong tubuhnya yang aduhai ke ranjangnya, aku mulai mengeluarkan jurusku, lidahku kini mejalari lehernya yang jenjang dan putih, tanganku aktif meremas2 buah dadanya lembut, putingnya yang masih kecil dan agak memerah aku pillin2, kini dari mataku hanya berjarak sekian cm ke bulu ketiaknya yang begitu lebat, aku hirup aromanya yang khas, sungguh wangi. lidahku mulai menjalar ke ketiak dan melingkari buah dadanya yang benar2 kenyal,

dan saat lidahku yang hangat melumat putingnya evi semakin mendesah tak karuan, rambutku habis dijambaknya, kepalaku terus ditekan ke buah dadanya. aku semakin semangat, tidak ada sejengkal tubuh evi yang luput dari sapuan lidahku, bahkan pinggul pantat dan pahanya juga, apalagi saat lidahku sampai di kemaluannya yang berbulu lebat, setelah bersusah payah meminggirkan bulunya yang lebat, lidahku sampai juga ke klitorisnya, kemaluannya sudah basah, aku lumat klitnya dengan lembut, evi semakin hanyut, tangannya meremas sprey pertanda menahan nikmat yang aku berikan, lidahku kini masuk ke dalam lubang kemaluannya, aku semakin asik dengan aroma kewanitaan evi yang begitu wangi dan menambah birahiku,

tapi sedang asik2nya aku mencumbu vaginanya, evi tiba2 bangun dan langsung mendorongku terlentang, lalu dengan sekali sentakan pantatnya yang bulat dan mulus langsung berada diatas perutku, tangannya langsung menuntun senjataku, lalu perlahan pantatnya turun, kepala kemaluanku mulai menyeruak masuk kedalam kemaluannya yang basah, namun meskipun basah aku merasakan jepitan kemaluannya sangat ketat. mungkin karna selama ini hanya jari saja yang masuk kedalam vaginanya,

centi demi centi senjataku memasuki vaginanya berbarengan dengan pantat evi yang turun, sampai akhirnya aku merasakan seluruh batang senjataku tertanam dalam vaginanya, sungguh pengalaman indah, aku merasakan nikmat yang luar biasa dengan ketatnya vaginanya meremas otot2 senjataku, evi terdiam sejenak menikmati penuhnya senjataku dalam kemaluannya, tapi tak lama, pantatnya yang bahenl dan mulus nulaik bergoyang, kadang ke depan ke belakang, kadang keatas ke bawah, peluh sudah bercucuran di tubuh kami, tanganku tidak tinggal diam memberikan rangsangan pada dua buah dadanya yang besar, dan goyangan pinggul evi semakin lama semakin cepat dan tak

beraturan, senjataku seperti diurut dengan lembut, aku mencoba menahan ejakulasiku sekuat mungkin, dan tak lama berselang, aku merasakan denyutan2 vagina evi di batang senjataku semakin menguat dan akhirnya evi berteriak keras melepas orgasmenya, giginya menancap keras dibahuku…
evi orgasme, aku merasakan hangat di batang senjataku, akhirnya tubuhnya yang sintal terlungkup diatas tubuhku, senjataku masih terbenam didalam kemaluannya,
aku biarkan dia sejenak menikmati sisa2 orgasmenya

setelah beberapa menit aku berbisik ditelinganya, “mba, langsung lanjut ya? aku tanggung nih”
evi tersenyum dan bangkit dari atas tubuhku, ia duduk dipinggir ranjang, “makasih ya mas, baru kali ini aku mengalami orgasme yang luar biasa” ia kembali melumat bibirku.aku yang masih terlentang menerima cumbuan evi yang semakin liar, benar2 liar, seluruh tubuhku dijilatin dengan rakusnya, bahkan lidahnya yang nakal menyedot dan menjilat putingku, sungguh nikmat, aliran daraku seperti mengalir dengan cepat, akhirnya aku ambil kendali, dengan gaya konvensional aku kemabli memasukkan senjataku dalam kemaluannya, sudah agak mudah tapi tetap masih ketat menjepit

senjataku, pantatku bergerak turun naik, sambil lidahku mengisap buah dadanya bergantian, aku liat wajah evi yang cantik memerah pertanda birahinya kembali naik, aku atur tempo permainan, aku ingin sebisa mungkin memberikan kepuasan lebih kepadanya, entah sudah berapa gaya yang aku lakukan, dan entah sudah berapa kali evi orgasme, aku tdk menghitungnya, aku hanya inget terakhir aku oake gaya doggy yang benar2 luar biasa, pantatnya yang besar memberikan sensasi tersendiri saat aku menggerakkan senjataku keluar masuk.

dan memang aku benar2 tak sanggup lagi menahan spermaku saat doggy, aku pacu sekencang mungkin, pantat evi yang kenyal bergoyang seirama dengan hentakanku,
tapi aku masih ingat satu kesadaran “mbak diluar atau didalam?” tanyaku parau terbawa nafsu sambil terus memompa senjataku
evipun menjawab dengan serak akibat nafsunya ” Didalam aja mas, aku lagi gak subur”
dan tak perlu waktu lama, selang beberapa detik setelah evi menjawab aku hentakan keras senjataku dalam vaginanya, seluruh tubuhku meregang kaku, aliran kenikmatan menuju penisku dan memeuntahkan laharnya dalam vagina evi, ada sekitar sepuluh kedutan nikmat aku tumpahkan kedalam vaginanya, sementara evi aku lihat menggigit sprey dihadapannya, mungkin iapun mengalami orgasme yg kesekian kalinya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
(˘̀^˘́҂)ҧ Design by uncensored8 | By Maling Durjana DMCA_logo-200w Pelacur Gratis Fast loading | Sexy Analytic (˘̀^˘́҂)ҧ